Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat menolak permohonan Justice Collaborator (JC) atau saksi pelaku yang bekerja sama yang diajukan oleh Djoko Tjandra.
Djoko Tjandra divonis divonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsidair enam bulan kurungan dalam kasus suap terkait pengecekan status red notice dan penghapusan namanya dari Daftar Pencarian Orang (DPO) dan pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA). Menurut hakim, Djoko tidak memenuhi kriteria sebagaimana Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011.
"Dari uraian di atas, jika dihubungkan dengan SEMA Nomor 4 Tahun 2011, maka majelis berpendapat terdakwa [Djoko Tjandra] tidak memenuhi kriteria sebagai JC sehingga permohonan tidak dapat dikabulkan," kata hakim anggota Saifudin Zuhri di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (5/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adapun sejumlah syarat memperoleh status JC yakni merupakan pelaku tindak pidana tertentu, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama, serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.
Status JC memungkinkan seorang terpidana mendapat berbagai keringanan dalam hal masa hukumannya. Misalnya, remisi. Syaratnya, terutama, sang terpidana bukanlah pelaku utama kejahatan terorganisasi itu.
Hakim berujar sikap Djoko yang meragukan penyerahan uang sebesar US$500 ribu dari adik iparnya Heriyadi Angga Kusuma kepada jaksa Pinangki Sirna Malasari membuktikan bahwa yang bersangkutan tidak mengakui perbuatannya.
Untuk diketahui, uang itu merupakan fee dari jumlah US$1 juta yang dijanjikan Djoko. Uang diterima Pinangki melalui perantara yang merupakan kerabatnya sekaligus politikus Partai NasDem, Andi Irfan Jaya.
Penyerahan uang sendiri terkait dengan fatwa Mahkamah Agung (MA) yang dimaksudkan agar Djoko lolos dari eksekusi dua tahun penjara atas kasus korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali.
Lebih lanjut, hakim mengesampingkan alasan Djoko yang mengaku tak mengetahui aliran uang Rp10 miliar yang diserahkan kepada rekannya Tommy Sumardi. Dalam fakta persidangan, terungkap bahwa uang itu digunakan Tommy untuk menyuap dua jenderal polisi agar nantinya Djoko bisa masuk ke wilayah Indonesia tanpa ditangkap.
Adapun sejumlah langkah yang dilakukan adalah dengan mengecek status red notice dan menghapus DPO atas nama Djoko Tjandra di Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM.
Sementara dua jenderal polisi yang dimaksud yakni eks Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadivhubinter) Polri, Irjen Napoleon Bonaparte, yang menerima Sin$200 ribu dan US$370 ribu.
Lihat juga:Poin-poin Larangan Mudik Lebaran 2021 |
Kemudian eks Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri, Brigjen Prasetijo Utomo, yang mendapatkan US$100 ribu.
"Terdakwa [Djoko Tjandra] telah mengetahui kepada siapa uang tersebut akan diberikan," simpul hakim.
Djoko sebelumnya divonis dengan pidana empat tahun penjara dan denda sebesar Rp100 juta subsider enam bulan kurungan atas kasus suap terkait pengurusan fatwa MA, pengecekan status red notice dan penghapusan DPO, serta pemufakatan jahat.
Atas putusan tersebut, Djoko menyatakan pikir-pikir dan bakal memanfaatkan batas waktu tujuh hari guna menentukan sikap.
(ryn/wis)