Pernikahan Atta Halilintar dan Aurel Hermansyah jadi pergunjingan di media sosial beberapa pekan lalu. Wajar memang, karena yang aneh justru jika dua pasang selebritas menikah, namun tidak digunjingkan oleh publik. Pasalnya, sensasi, prestasi dan kontroversi menjadi bumbu utama profesi tersebut.
Disisi lain, pernikahan dua selebritas itu makin jadi sorotan setelah dihadiri oleh tak hanya sesama pesohor, namun juga pejabat tinggi negara, termasuk Presiden Joko widodo dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang menjadi saksi pernikahan mereka.
Pro-kontra lantas mewarnai lini masa, yang lalu disambut oleh media. Hasilnya berita tentang kemewahan, kemegahan dan kemeriahan menyeruak di ruang publik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bersama dengan itu juga berita pandangan negatif mengemuka; frekuensi publik digunakan untuk kepentingan privat, akun resmi kenegaraan digunakan untuk posting kehadiran Presiden, dan lain sebagainya. Seru dan menegangkan.
Setali tiga uang, tiga bulan sebelumnya Raffi Ahmad rekan sesama 'sultan' Atta halilintar juga memantik kontroversi. Pasalnya kala itu dirinya menjadi salah satu orang yang terpilih pertama kali di suntik vaksin anti Covid 19 bersama Presiden Jokowi, tokoh masyarakat, menteri kabinet dan lainnya.
Namun puncak kontroversi bukan saat penyuntikan berlangsung, melainkan ketika suami Nagita Slavina ini kedapatan berkumpul hanya selang beberapa jam setelah ia divaksin.
Bukan tanpa alasan jika para politikus menjadikan Atta Halilintar dan Raffi Ahmad hadir dalam pusaran kegiatan mereka, berkolaborasi dan berkreasi dalam sejumlah content creator dan bahkan menjadikan mereka sebagai salah satu Key Opinion Leader (KOL) penting dalam penyampaian pesan strategis.
Meskipun mereka tidak bicara, namun keberadaan Raffi dan Atta di tengah-tengah para politikus ini menjadi penanda eksistensi yang saling melengkapi (symbiosis mutualism).
Apalagi, mereka berdua memiliki pengikut media sosial yang sangat luar biasa, sebuah tanda bahwa virtual positioning telah menjadi ukuran baru dalam membangun strategi komunikasi.
Maka hari-hari ke depan, keterlibatan milenial dalam pusaran publik bisa jadi akan semakin ramai.
Zaman memang sudah berubah, langgam komunikasi sudah beralih dari yang bersifat konvensional ke digital. Semua kegiatan privasi bisa dipublikasikan dengan cara cepat lewat media sosial, tanpa harus menunggu liputan media arus utama (mainstream).
Ke depan, ruang sosial media perlahan nan pasti akan menggeser pusaran berita. Sekuat apa pun pertahanan televisi merengkuh hegemoni informasi, kini pengaruhnya perlahan rontok dan mulai terseok seiring waktu.
Dekadensi audiens harian televisi tahun 2016 perkasa di angka 22 juta, namun di 2020 tinggal menyisakan 16 juta pemirsa.
Proses perpindahan habitual informasi memang tengah terjadi. Di balik penyusutan penonton televisi, sebaliknya terjadi peningkatan pengguna media sosial.
![]() |
Millenial dalam pusaran isu
Pada 21 Januari 2021 Badan Pusat Statistik (BPS) merilis hasil Sensus Penduduk (SP) 2020 yang mencatat mayoritas penduduk Indonesia didominasi oleh Generasi Z dan milenial.
Proporsi generasi Z sebanyak 27,94 persen dan generasi milenial sebanyak 25,87 persen dari total populasi Indonesia.
Sebagai catatan, milenial lahir tahun 1981-1996 dan perkiraan usia sekarang 24-39 tahun. Adapun generasi Z lahir tahun 1997-2012 dengan perkiraan usia sekarang 8-23 tahun.
Survei sensus penduduk yang dilakukan oleh BPS terkait komposisi umur penduduk Indonesia sejak 1971-2020 menunjukkan dalam periode yang sama penduduk usia kerja 15-64 tahun meningkat dari 53,39 persen menjadi 70,72 persen.
Sementara penduduk usia 65 tahun ke atas naik dari 2,49 persen menjadi 5,95 persen.
Selaras dengan itu dalam rentang tanggal 4-10 maret 2021, lembaga survei Indikator melakukan survei nasional suara anak muda tentang isu-isu sosial politik bangsa. Terkait pilihan partai, ternyata lebih banyak anak muda yang belum memilih partai politik jika pemilu diadakan sekarang.
Dari partai-partai yang ada, pilihan lebih banyak pada Gerindra 16 persen, disusul PDIP 14,2 persen, kemudian Golkar 5,7 persen, PKS 5,7 persen, dan Demokrat 5,3 persen.
Dari temuan ini, suka tidak suka, partai generasi pertama dan setelahnya masih nampak dominan dan perkasa. Bisa jadi ini sebagai pertanda regenerasi yang berhasil atau kemampuan strategi pendekatan yang ciamik, tentu masih perlu ditelusuri lebih dalam.
Hasil survei itu juga mengonfirmasi anak muda saat ini akrab dengan penggunaan internet dan media sosial. Mayoritas mengakses berita politik secara daring, terutama media sosial.
Selain mengakses, mereka juga aktif berkomentar dan cukup banyak yang membagikan berita politik tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa anak muda cukup terlibat dalam isu-isu politik, yakni secara daring.
Institut Penelitian Indonesia telah mencoba mengetahui preferensi dan perilaku politik generasi milenial dan generasi Z. Ditemukan efek aktivisme digital terhadap pengubahan kebijakan menurut menurut pandangan kaum millennial 37,9 persen efektif, meskipun yang mengatakan tidak efektif sebesar 30,6 persen.
Partisipasi politik yang dilakukan paling besar menjawab 86,4 persen memilih dalam Pilkada, 40,8 persen menandatangani petisi, 30,6 persen mengikuti diskusi, 24,8 persen demonstrasi, 20,9 persen ikut dalam kampanye, 18,4 persen membuat kajian dan 15,5 persen membuat tagar/ hashtag.
![]() |
Menurut riset yang dilakukan oleh Mobile Walla, sebuah platform intelijen konsumen, 15 tahun yang lalu konsumen rata-rata biasanya menggunakan dua titik kontak (touch point) saat membeli suatu barang.
Sedang saat ini, konsumen menggunakan rata-rata sebanyak 6 titik kontak. Dijelaskan pula bahwa kita saat ini lebih terhubung dari sebelumnya dan hampir semua yang dilakukan meninggalkan jejak digital.
Mencari sesuatu lewat mesin pencari seperti Google, melihat dan membagikan yang disukai lewat media sosial, kemudian melihat, mendengar serta membeli sesuatu lewat e-commerce.
Dari sejumlah paparan di atas, tentu ada tantangan dan peluang dalam menata kelola perubahan perilaku para milenial dan Generasi Z.
Yang perlu dilakukan setidaknya adalah melakukan empat pendekatan yakni aktivasi isi (activation of content), aktivasi informasi (activation of information), aktivasi kanal dan platform (activation of platform) dan terakhir berkolaborasi langsung (collaboration).
Generasi Z dan milenial sebenarnya memiliki kesadaran politik yang tinggi, ini bisa dilihat dari sikap mereka yang cenderung positif mengenai demonstrasi, pemilu, aktivisme digital serta keinginan mereka untuk menunaikan kewajiban sebagai warga negara dengan memilih.
Namun, mereka cenderung apatis dengan ideologi dan partai politik, banyak dari mereka menolak asosiasi terhadap parpol dan cenderung memberikan dukungan karena sosok public figure.
Sosok public figure ini biasanya dipilih karena visi misi, gaya kepemimpinan, integritas, pengalaman dan juga prinsip dan etika.
Untuk itu, para pelaku politik perlu melakukan rekrutmen dan mendorong sosok public figure yang baik yang bisa memberi teladan ke generasi muda. Adapun untuk menjangkau mereka, perlu penuansaan konten politik yang menarik, substantif/menguasai isu, edukatif dan informatif.
Masih ada waktu untuk menarik para milenial, tak hanya demi suara mereka di 2024, namun juga memberikan cukup ruang untuk mereka berpartisipasi dan berkompetisi hingga Indonesia bisa memetik keuntungan dari berkah demografi.
(stu)