Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif karena tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK), Andre Dedy Nainggolan menyebut bantuan sosial (Bansos) dalam bentuk uang tunai tidak menjamin aman dari tindak korupsi. Meski Nainggo menyebut celah korupsi lebih sedikit, terdapat persoalan data keluarga penerima bantuan.
Persoalan data ini pernah diungkap ke publik pada bulan Mei lalu oleh Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini. Risma menyebut terdapat 21 juta data ganda penerima bansos yang kemudian ia 'tidurkan'.
"Permasalahannya adalah kepada data yang dimiliki, data keluarga penerima, apakah itu benar-benar termutakhir?" kata Nainggo dalam diskusi virtual PPKM Darurat Jangan Ada Babak baru Korupsi Bansos yang disiarkan secara live di kanal Youtube Sahabat Indonesia Corruption Watch (ICW), Selasa (6/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain persoalan data tersebut, kata dia, kemudian bagaimana mekanisme keluarga atau kelompok penerima dalam mengakses bantuan itu. Bansos dalam bentuk uang tunai bisa saja disalurkan melalui rekening penerima. Cara lainnya adalah dibagikan melalui tangan Ketua RT, RW, dan kepala desa jika beberapa keluarga penerima tidak memiliki rekening sendiri.
Nainggo mengaku tidak mengetahui cara yang akan dilakukan oleh Kementerian Sosial (Kemensos). Namun, ia menilai terdapat potensi petugas yang mendistribusikan Bansos itu tidak memberikan bantuan dalam jumlah utuh.
"Itu (distribusi tidak langsung ke rekening penerima) juga menjadi potensi ketika pihak-pihak yang bertugas mendistribusikan tidak mendistribusikan 100 persen, dia ngutip juga," ujar mantan Kasatgas Penyidik kasus korupsi Bansos itu.
Pada akhirnya, kata Nainggo, distribusi ini bergantung pada integritas pejabat yang menjalankan program-program bansos. Selain itu, adalah adanya pengawasan dari beberapa lembaga pengawas, termasuk masyarakat.
Sementara, di akar rumput, menurut Nainggo, banyak masyarakat kurang mampu yang lugu. Mereka tidak mempersoalkan apakah bantuan yang mereka terima 100 persen atau tidak. Tidak jarang mereka juga tidak sadar bahwa bantuan yang mereka terima dipotong.
"Nggak 100 persen nggak apa apa yang penting bisa saya gunakan untuk menjalani kehidupan. Begitu polosnya masyarakat, terutama yang kalangan miskin ini," ujar Nainggo.
Sementara itu, peneliti ICW, Almas Sjafrina mengatakan berkaca dari kasus korupsi bansos sebelumnya, ia mengaku pihaknya sangat khawatir dana penanganan Covid-19 kembali dikorupsi. Bahkan, beberapa minggu lalu, ICW merilis terdapat 107 kasus korupsi bansos yang tersebar di 27 daerah.
Almas mengungkap dana Covid-19 memang rawan diselewengkan, terutama yang berkaitan dengan pengadaan. Sebab, pengadaan tersebut dilakukan dalam kondisi darurat sehingga sangat rentan penyedia barang ditentukan hanya dengan ditunjuk.
"Bukan didasarkan pada pengalaman atau misalnya penyedia yang terdaftar di e-katalog melainkan berdasarkan hal-hal yang berbau nepotisme karena ada suap, karena ada kedekatan, fee," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Sosial Tri RIsmaharini menyatakan pihaknya akan menyalurkan bantuan sosial tunai (BST) sebesar Rp300 ribu kepada kelompok penerima selama PPKM Darurat.
Pemberian Bansos ini merupakan penyaluran lebih lanjut dari program sebelumnya yang sempat terhenti pada April lalu. Risma menargetkan bansos mulai bisa didistribusikan pada minggu ini atau paling lambat minggu depan dengan nominal periode Mei dan Juni sebesar Rp600 ribu.
"Kami berharap pekan ini atau paling lambat pekan depan bansos ini dapat tersalur. Warga akan menerima Rp600 ribu sekaligus. Saya minta jangan diijinkan dan hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok saja," kata Risma dalam keterangan resmi, Jumat (2/7).
(iam/ain)