Krisis ketersediaan peti mati buntut meroketnya angka kematian pasien Covid-19 di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menuntun sekelompok relawan lintas bidang mencetus sebuah gerakan kolaborasi.
Dimotori mayoritas para alumni aktivis Gelanggang Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM), kelompok relawan ini melahirkan gerakan penggalangan donasi peti mati.
"Memang basisnya pada donasi, tapi kami lebih ke pengadaan petinya. Kalau donasi itu nanti kita bisa membelanjakan untuk peti jadi. Tapi, kita donasi untuk membeli bahan yang langsung kita buat menjadi peti, begitu," kata Herlambang Yudho Dharmo selaku juru bicara relawan alumni aktivis Gelanggang Mahasiswa UGM, Jumat (9/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Herlambang menjelaskan, gerakan ini mulanya sebagai respons atas krisis ketersediaan peti mati di RSUP Dr Sardjito yang kebutuhan atau pemakaiannya meningkat seiring tingginya angka kasus kematian Covid-19 belakangan ini.
Lalu muncul gagasan dari Capung Hendrawan yang kemudian menjadi penyambung lidah bagi sesama alumnus aktivis Gelanggang Mahasiswa UGM lainnya.
"Kalau krisis itu ya pemakaman tertunda. Jadi jenazah yang sudah ditahan lebih dari dua jam di rumah sakit dan itu akan terus bertambah dan menumpuk," sebut Herlambang.
"Dia (Capung) itu prihatin sebenarnya dengan kondisi nakes yang ada di sana, yang menungguin [pemulasaraan jenazah] itu. Mulai dari memandikan, kemudian di kamar jenazah, sampai petugas ambulans pemakaman itu, kalau tidak segera diadakan peti itu kami mengkhawatirkan secara psikologis mereka akan terganggu," sambungnya.
Akhirnya empat hari lalu berbekal peralatan yang dimiliki Capung serta para pengrajin kayu koneksinya, gerak bersama para alumnus dimulai. Perlahan demi perlahan mereka belajar dari ahlinya. Garapan pertama menuai sederet evaluasi, mulai dari efisiensi biaya dan material. Misinya, agar nihil donasi terbuang sia-sia.
"Dan bisa menjadi sebanyak mungkin peti," ucap pria 57 tahun itu.
![]() |
Hari pertama, Capung dan Herlambang cs mampu merangkai setidaknya 6 buah peti. Lalu berlipat ganda jadi 15 buah di hari kedua, dan kini total telah terangkai sekitar 30 buah peti mati per 9 Juli 2021 ini.
Herlambang mengatakan sejauh ini hasil dari gerakan mereka baru didistribusikan secara terbatas ke RSUP Dr Sardjito dan RSA UGM.
Semakin semakin ramainya informasi tentang gerakan ini via media sosial, semakin banyak pula rekues berdatangan. Namun, tak semua bisa diamini karena keterbatasan daya dan stok.
"Ada yang japri di Facebook, saya terlambat menjawab, petinya nggak ada. (Terima pesan) bapak kami meninggal isoman di rumah nggak dapat peti, ya sedih sekali dengerin itu. Walaupun kalau saya jawab saat itu kami juga tidak punya stok, tidak bisa kami berikan karena itu sudah hak Sardjito," imbuh Herlambang.
Maka dari itu pula, ia berangan-angan gerakan macam ini bisa diduplikasi secara luas. Ia dan rekan-rekan sangat terbuka untuk berbagi ilmu.
"Harapan utama kami sesegera mungkin kami berhenti produksi, artinya Covid-19 itu sudah turun atau pengadaan peti itu juga sudah teratasi. Harapan kami yang lain adalah kalau memang masih panjang ini, supaya kita bareng-bareng memenuhi kebutuhan peti yang krisis ini. Kita kan gotong royong, nomor satu semangatnya," katanya.
![]() |
Mampu merakit sampai puluhan peti lewat kumpulan tangan-tangan amatir bukan berarti kualitas produk dikesampingkan.
Herlambang memastikan setiap peti yang dibuat di bengkel milik Capung Hendrawan, di Nogotirto, Sleman, tetap menyesuaikan standar yang dipakai untuk memakamkan jenazah pasien Covid-19.
Sementara peti yang dijual di pasaran dilengkapi kain pada bagian dalam, buah tangan para relawan UGM ini tidak. Sebagai gantinya diambil material yang cukup berkualitas. Yakni, memakai multiplek 12mm untuk tepian dan 18mm di bagian dasar. Semua disusun secara presisi sebelum melalui proses pengecatan.
"Sudah rata semua, kotak, terus nanti dalamnya dikasih plastik, itu nanti jenazah dimasukkan dalam keadaan sudah terbungkus dibungkus plastik lagi. Prinsipnya adalah lapisan yang melindungi jenazah itu tidak terakses langsung dari luar," sebutnya.
Kombinasi orang-orang awam dunia perkayuan dari berbagai lintas disiplin ilmu ini setidaknya telah menemukan tempo dan pola kerjanya. Seniman, sutradara, fotografer, serta amatiran lain yang bukan dari lingkar alumnus UGM bersatu padu menghasilkan peti demi peti tanpa komando nan kaku.
"Saya juga fotografer, saya foto, udah bercerita saja [di Facebook]. Tidak ngomong minta donasi tapi kemudian ada yang memberikan donasi, bukan apa-apa, bukan kami tidak butuh donasi. Open donasi itu saya takutnya kalau tidak terkendali kami tidak mampu memenuhi kami juga berat. Tanggungjawabnya berat," ucapnya.
Sampai hari ini paling tidak puluhan orang terhimpun ke dalam gerakan ini. Meski sebenarnya cuma 4-5 orang saja anggota tetapnya, termasuk Capung Hendrawan. Sisanya, silih berganti.