MPR Masih Pertimbangkan Banyak Aspek Amendemen UUD 1945
Wakil Ketua MPR Syarief Hasan memastikan bahwa belum ada keputusan apapun terkait wacana amendemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945 hingga saat ini.
Menurutnya, wacana amendemen UUD 1945 untuk memasukkan kembali Pokok Pokok Haluan Negara (PPHN) masih dipertimbangkan secara mendalam.
"Kabar terbaru yang bisa saya sampaikan sesuai hasil Rapat Pimpinan MPR terakhir adalah MPR masih akan terus melakukan kajian secara mendalam karena banyak aspek yang harus dipertimbangkan," kata Syarief dalam keterangannya yang diterima CNNIndonesia.com, Selasa (7/9).
Ia menyampaikan, MPR memahami amendemen UUD 1945 akan memberikan manfaat besar bagi bangsa jika diwujudukan. Namun, menurutnya, amendemen UUD 1945 memerlukan ketelitian dalam proses kajiannya.
"Jadi intinya, karena PPHN ini untuk rakyat, maka dibutuhkan konsentrasi dalam menyikapi dan mengelolanya," katanya.
Syarief pun memastikan MPR akan melakukan sosialisasi untuk mendengar respons publik bila amendemen UUD 1945 jadi dilakukan.
Dia menyatakan respons publik diperlukan karena MPR tidak mau wacana amendemen UUD 1945 membelah masyarakat hingga berpotensi mengancam persatuan bangsa.
"Wacana ini juga jangan sampai menghabiskan energi bangsa yang semestinya digunakan untuk memikirkan penyelesaian pandemi Covid-19 yang sampai saat ini belum kunjung usai. Kami di MPR akan berusaha semaksimal mungkin agar apapun hasil kajian dan keputusannya berdampak baik untuk semua," ujar politikus Partai Demokrat itu.
Tak Boleh Politik Jangka Pendek
Sementara itu, Wakil Ketua MPR Arsul Sani mengungkapkan bahwa UUD 1945 harus diperlakukan sebagai 'the living constitution' atau konstitusi yang hidup.
Menurutnya, perlakuan itu mengartikan bahwa konstitusi bisa dilakukan perubahan sesuai keperluan dan keinginan rakyat.
Namun, politikus PPP itu mengingatkan, amendemen UUD 1945 tidak boleh dilakukan hanya untuk kepentingan jangka pendek atau politik tertentu.
"Contohnya, kini sedang hangat wacana tentang perlunya muncul PPHN melalui amandemen UUD, itu boleh-boleh saja jika rakyat menghendaki dan memang jika berdampak baik, yang tidak boleh adalah proses amandemen itu dilakukan dan digunakan untuk kepentingan politik jangka pendek, apalagi kepentingan politik kelompok tertentu," katanya.
Lebih lanjut, ia menyampaikan, MPR belum menerima usulan amendemen dari 1/3 anggota sebagaimana diwajibkan Pasal 37 UUD 1945 hingga saat ini.
Namun, ia berharap wacana amendemen UUD 1945 mendapatkan dukungan jika dinilai baik untuk rakyat dan sebagai jalan memperlancar perjalanan bangsa menuju cita-cita Indonesia yang maju dan sejahtera.
"Arah ke sana sudah terlihat dengan banyak yang sepakat soal PPHN. Tinggal bagaimana mencari jalan tengah untuk pembahasan payung hukumnya. Rakyat mesti bersabar sebab saat ini negara dan kita semua sedang fokus mengatasi pandemi Covid-19," tuturnya.
Lihat Juga : |
Sebelumnya, Ketua Fraksi Partai Golkar MPR, Idris Laena, mengingatkan bahwa wacana amendemen UUD 1945 harus dikaji secara mendalam karena bisa tidak terkendali dan menimbulkan gejolak di tengah masyarakat.
Menurutnya, tak ada pihak yang bisa menjamin amendemen UUD 1945 akan berhasil dengan mulus karena Indonesia tidak mengenal istilah amendemen konstitusi terbatas.
"Kita harus mengkaji secara mendalam, karena bisa saja amandemen tersebut tidak terkendali dan menimbulkan gejolak di tengah masyarakat," kata Idris kepada dalam keterangannya kepada wartawan, Selasa (7/9).
Ia mencontohkan, kudeta yang terjadi Guinea terjadi setelah amendemen konstitusi dilakukan untuk mengizinkan presiden di Guinea menjabat maksimal tiga periode.
Pasalnya, menurutnya, terdapat dua kutub pendapat dan sikap masyarakat terkait wacana amendemen UUD 1945 saat ini, yakni kelompok yang setuju dan tidak setuju.