Wakil Ketua Komisi II DPR RI Luqman Hakim menyoroti usulan pemerintah yang meminta pemungutan suara pemilu 2024 diundur bulan April atau Mei. Ia menilai, mundurnya pemungutan suara ke April atau Mei akan terlalu mepet dengan pelaksanaan pilkada yang rencananya digelar November 2024.
Hal tersebut ia sampaikan ketika Komisi II menggelar Rapat Kerja bersama Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (16/9).
"Pelaksanaan pemilu tahun 2024 harus dipertimbangkan betul agar tersedia jeda waktu antara penetapan hasil pemilu yang final dengan tahapan pemilihan atau pilkada," kata Luqman.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut politikus PKB itu, secara rasional bulan Agustus sudah harus memasuki tahapan pendaftaran calon kepala daerah. Sementara, hanya tersisa waktu tiga bulan untuk mempersiapkan pemungutan suara pilkada 2024.
Menurutnya, waktu yang pendek itu akan memaksa keputusan-keputusan instan, baik dari KPU maupun partai politik dalam menghadapi pilkada 2024.
"Waktu yang pendek pasti akan memaksa keputusan-keputusan yang sifatnya instan. Ketika partai menetapkan calon kepala daerah instan, transaksional seperti yang dibilang Mendagri, mahal biayanya, outputnya cenderung korupsi, tentu kita enggak mau ini terjadi," ujar Luqman.
"Karena itu beri kesempatan pada masyarakat, partai politik yang cukup untuk memproses calon-calon kepala daerah. Kalau Mei menuju Agustus sangat mepet, nanti kalau hasilnya buruk parpol lagi yang dapat getahnya," kata dia menambahkan.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II lainnya, Saan Mustopa menilai, usulan pemerintah menggelar pemungutan suara pada Mei 2024 sudah tepat. Ia menyatakan, jika pemungutan suara dilaksanakan Februari 2024, maka transisi peralihan pemerintahan akan sangat panjang.
Menurutnya, masa peralihan yang panjang itu akan membuat efektivitas pemerintahan Presiden Joko Widodo akan terganggu.
"Kita juga harus memperhatikan efektivitas pemerintahan. Ini kan jadi penting," ujar Saan.
Ia mencontohkan bagaimana masa transisi dalam pelaksanaan Pilkada. Politikus Partai NasDem itu menyatakan, dalam beberapa kasus, kepala daerah petahana yang akan habis masa jabatannya bisa terganggu kinerjanya, jika sudah ada pemenang pilkada.
"Kita punya pengalaman misalnya di pilkada, ada petahana yang habis masa jabatannya beberapa bulan akan datang, tapi sudah ada kepala daerah terpilih, hasil pilkada. Padahal pergantian peralihannya masih butuh waktu, bahkan ada yang setahun dan sebagainya. Otomatis itu sudah terganggu tuh jalannya pemerintahan," ujar Saan.
"Timses pemenang pasti sudah mulai tuh merambah, kemana-mana dan menekan juga. Jadi sisa jabatan kepala daerah itu jadi tertekan oleh pemenang pilkada. Jangan juga kita membiarkan alih transisi ini terlalu lama," kata dia menambahkan.
Dengan contoh seperti ini, ia menilai jika hal serupa bisa terjadi pada pemerintahan Presiden Joko Widodo. Apalagi jika pemenang pemilu bukan dari petahana.
"Kalau kelamaan masa transisi, sisa pemerintahan Presiden Jokowi ini pasti akan terganggu. Apalagi misalnya petahana kalah dari penantang, itu akan lebih rumit lagi tuh," ungkap dia.
Kendati demikian, menurut Saan, hal ini tentu perlu didalami lebih lanjut. Ia meyakini pemerintah maupun KPU bisa menemukan titik temu soal pelaksanaan pemungutan suara pada pemilu 2024.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian sebelumnya menyampaikan usulan pemerintah agar pemilu ditunda ke April atau Mei 2024.
Usulan ini berbeda dari Tim Kerja Bersama menyepakati pemilihan anggota legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) digelar pada 21 Februari 2024. Sementara, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada 27 November 2024.