Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Agustyati menyebut ada celah hukum yang membuat perwira TNI dan Polri bisa ditunjuk sebagai penjabat kepala daerah jelang Pilkada Serentak 2024.
Khoirunnisa mengatakan pasal 210 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tidak menyebut rinci kriteria penjabat kepala daerah. Pasal itu hanya menyebut penjabat gubernur berasal dari pimpinan tinggi madya, sedangkan penjabat bupati dan wali kota berasal dari pimpinan tinggi pratama.
"Memang tidak disebutkan secara eksplisit madya dan pratama itu ke siapa. Ya tadi itu, tidak ada yang membolehkan, tapi tidak ada yang melarang dari UU 10/2016," kata Khoirunnisa saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (28/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terpisah, pakar otonomi daerah Djohermansyah Djohan juga menyebut ada celah penunjukan penjabat kepala daerah dari kalangan TNI-Polri. Ia menyebut celah itu berasal dari aturan-aturan yang memperbolehkan perwira TNI-Polri memangku jabatan sipil.
Djohermansyah berkata biasanya para perwira ditunjuk sebagai staf ahli atau kedeputian. Dengan begitu, mereka terhitung memenuhi syarat sebagai penjabat kepala daerah karena duduk di jabatan pimpinan tinggi madya dan pratama.
"Kalau deputi di Kemenhan, Kemenko Polhukam, kan jabatan ASN. Walaupun dia tentara ataupun polisi, dia memangku jabatan eselon I, itu dianggap sah, itu pembenaran oleh pemerintah," ucap kata Djohermansyah saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (22/9).
Khoirunnisa menyarankan agar pemerintah tak menunjuk perwira TNI-Polri sebagai penjabat kepala daerah. Menurutnya, masih banyak aparatur sipil negara (ASN) yang mampu mengemban jabatan itu.
Khoirunnisa mengkhawatirkan netralitas pemilihan jika TNI-Polri jadi penjabat kepala daerah. Pasalnya, dua institusi itu dijalankan berdasarkan komando.
"Kekhawatirannya pertama soal netralitas ya karena 2024 bukan hanya pilkada serentak, tapi juga ada pemilu lima kotak," ucap Khoirunnisa.
Dia menyampaikan aparat kepolisian punya wewenang sebagai penegak hukum. Menurutnya, bisa saja penjabat kepala daerah dari kepolisian membuat pemilihan tidak netral karena bisa memproses hukum lawan politik.
Menurut Khoirunnisa, hal itu akan berdampak buruk bagi perjalanan demokrasi. Ia khawatir publik akan kehilangan kepercayaan jika pemerintah menunjuk polisi dan TNI sebagai penjabat kepala daerah.
"Daripada memunculkan praduga-praduga, masyarakat tidak mempercayai proses pemilu, baik dari sisi proses maupun pemilunya, lebih baik dihindari," tuturnya.
Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Benni Irwan menjawab isu TNI-Polri menjadi penjabat kepala daerah. Ia menyebut pemerintah selalu bersandar pada peraturan perundang-undangan.
"Yang paling utama adalah kita memperhatikan aturan. Bagaimana diatur, baik oleh undang-undang, peraturan pemerintah, itu yang kita lakukan terlebih dahulu," kata Benni saat dihubungi CNNIndonesia.com pada Kamis (24/9).