Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia bahwa konflik di Papua berlarut karena pemerintahan Joko Widodo dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tak sabar ketika mendengar kata "merdeka" terlontar.
Ketua Komnas HAM perwakilan Papua, Frits Ramandey, menilai bahwa permasalahan berlarut karena pemerintah sekarang terlalu takut mendengar kata merdeka, tapi tidak dapat menemukan solusi penanganan yang tepat.
Ia menilai bahwa sudah saatnya Jokowi membenahi pendekatan penyelesaian masalah tersebut dengan membentuk tim tersendiri yang langsung bertanggung jawab terhadap dirinya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut dia,pemerintahan Jokowi saat ini cenderung terkesan hanya tak ingin mendengarkan kata 'Merdeka' dilontarkan di Papua, berbeda dengan sejumlah presiden pendahulunya.
"Kalau misalnya Gus Dur, Megawati, dan Habibie, mereka itu bisa bersabar mendengarkan kata merdeka. Masa SBY dengan Jokowi tidak bisa?" kata Frits dalam sebuah diskusi daring yang digelar pada Jumat (1/10).
Menurut dia, Jokowi tak mengetahui situasi keamanan di Papua secara nyata. Ia beranggapan, banyak intervensi sehingga presiden tak mendapat laporan yang valid.
Oleh sebab itu, Frits mendorong agar presiden segera membentuk tim yang bekerja secara senyap dan berada di bawah komando Jokowi langsung agar dapat berdialog dengan masyarakat Papua.
"Kita punya pengalaman yang baik yang harus bisa diterapkan kembali. Pengalaman baik itu adalah kalau kita bilang dialog Jakarta-Papua pasti tidak berhasil karena telah terjadi resistensi. Karena itu yang perlu didorong adalah dialog kemanusiaan," kata dia.
"Tim itu harus bertanggung jawab kepada presiden, tidak di bawah struktur di bawa kementerian lagi. Kenapa? Supaya presiden mendapat laporan yang valid tentang kondisi."
Menurutnya, pemerintah saat ini tak berhasil mengelola Papua agar tak menjadi medan konflik yang berkepanjangan.
Ia mencontohkan, dalam tiga tahun terakhir ada permasalahan konflik bersenjata di enam kabupaten/kota yang membuat masyarakat menjadi pengungsi berkelanjutan. Beberapa di antaranya masih terjadi saat ini.
Enam wilayah itu ialah di Nduga, Kabupaten Puncak, Intan Jaya, Yapen, Kisor, dan terakhir Pegunungan Bintang.
"Karena pengalaman Presiden Jokowi berulang kali datang ke Papua, orang-orang yang berdialog dengan presiden adalah orang-orang yang telah difilter dari aspek idologi sehingga bicaranya terputus-putus," ucap dia.
Dalam beberapa hari terakhir, kontak senjata dengan kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua memang meningkat di wilayah Distrik Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang.
Dalam sebulan terakhir, terjadi lebih dari tiga kali kontak senjata di wilayah tersebut. Anggota Brimob, Anumerta Bharatu Muhammad Kurniadi Sutio, dan Prajurit TNI Yonif 403/WP, Pratu Ida Bagus Putu, gugur dalam kontak tembak yang terjadi secara terpisah.
Tentara Pembebasan Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) kerap menyatakan perang terhadap aparat TNI-Polri. Belakangan, pemerintah pun melabeli KKB itu sebagai kelompok teroris di Indonesia. Total ada 19 kelompok yang diperangi pemerintah.
Pemerintah menggunakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagai landasan hukum.
(mjo/has)