Cangkir - cangkir kopi menemani asyiknya Yudi Purnomo Harahap, Rasamala Aritonang, dan Lakso Anindito--sejumlah eks pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dipecat dengan dalih gagal Tes Wawasan Kebangsaan (TWK)--mengobrol di lantai basement Blok J 077, Kuliner Toba, Blok M Square, Jakarta Selatan, Kamis (14/10) petang.
Kopi-kopi yang menemani hangatnya perbincangan mereka adalah buatan Hotman Tambunan--mantan Kasatgass Pembelajaran Antikorupsi KPK. Seperti juga Yudi dan dua lainnya, Hotman pun 'ditendang' dari KPK dengan alasan gagal TWK yang digelar pimpinan lembaga antirasuah di bawah komando Komjen Pol Firli Bahuri.
"Dalam peradaban di berbagai negara, kedai kopi menjadi tempat awal mula gerakan, karena keresahan dibahas disini," ujar Lakso membuka percakapan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa saat kemudian dua mantan penyidik KPK yang juga ditendang karena TWK, Andre Dedy Nainggolan dan M Praswad Nugraha hadir bergabung. Dua mantan penyidik yang pernah mengusut kasus korupsi Bantuan Sosial (bansos) Covid-19 yang menjerat politikus PDIP Juliari P Batubara saat menjabat mensos itu pun terlibat dalam perbincangan di meja kopi itu.
Hotman Tambunan, mantan pegawai senior KPK itu saat ini mencoba aktif di usaha kopi yang sudah ia rintis sejak empat tahun lalu tersebut. Aktivitasnya itu tak lepas dari keputusan pimpinan KPK yang memecat dirinya per 30 September lalu.
"Setelah tidak di KPK lagi, saya kembali ke kedai ini untuk melaksanakan apa yang menjadi tugas saya, memasarkan dan menjual produk," kata Hotman kepada awak media.
Pada Kamis sore itu, kedai kopi besutan Hotman terlihat ramai disambangi pengunjung. Ada tiga jenis kopi yang dijual yakni Lintong, Gurgur, dan Sidikalang.
"Kedai kopi ini kami bangun bukan hanya menjual kopi, kami juga memberdayakan masyarakat yang ada di kampung kami di sana, yaitu di Toba. Mereka punya kebun kopi yang tidak diurus, kami membantu mereka dengan memberikan pelatihan bagaimana budi daya kopi yang bagus dan benar," tutur Hotman.
"Kami berikan pelatihan itu, pelatihan barista juga kepada pemuda pemudi di sana sehingga bisa menjual kopi," lanjut dia.
"Ini tempat berkumpul para pemimpi yang ingin membebaskan," sambung Lakso.
![]() |
Dalam pertemuan itu, beberapa di antara mereka sempat membahas mengenai keinginan mendirikan partai politik 'Partai Serikat Pembebasan'.
Salah satunya Rasamala yang mengatakan partai politik merupakan kendaraan strategis dalam sistem demokrasi yang bisa mewujudkan perubahan besar sebagaimana yang dicita-citakan. Dalam hal ini Rasamala menginginkan Indonesia yang bebas dari korupsi.
Ia mengatakan: "Membuat partai politik baru memang sulit, banyak tantangannya, tapi layak dicoba."
Terlebih, lanjut Rasamala, ada peluang besar mengambil kepercayaan publik yang selama ini banyak mengkritisi partai politik. Untuk itu, ia bersama sejumlah rekannya termasuk Lakso mulai mencoba membuka dialog dengan beberapa pihak guna mendapat masukan terkait keinginan mendirikan partai politik.
Dia yang juga pengajar kuliah antikorupsi di Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan ini mengenyampingkan tawaran bergabung ke partai politik sebagaimana dilayangkan oleh Partai Demokrat dan PKS.
Menyambung hal tersebut, Lakso menilai publik membutuhkan wacana alternatif atas kebuntuan pengelolaan kekuasaan yang terjadi saat ini. Kebuntuan yang dimaksud dirinya seperti kegagalan menjaga independensi lembaga antikorupsi hingga perlindungan lingkungan hidup dan hak asasi manusia.
"Untuk itu, Partai Serikat Pembebasan diharapkan dapat menghadirkan wacana-wacana percontohan dalam isu integritas dan mimpi tata kelola kekuasan yang akuntabel dan transparan serta berlandaskan keadilan dan keberlanjutan antar generasi," ucap Lakso.
Ia menerangkan, 'Serikat' mengandung makna yang egaliter. Sedangkan 'Pembebasan' mengandung makna tujuan yaitu pembebasan dari oligarki, pembebasan dari kemiskinan, pembebasan dari korupsi, pembebasan dari kerusakan lingkungan dan pembebasan dari pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang eksplotitatif tanpa mempertimbangkan keberlanjutan.