Hakim MK Minta UU PPP Direvisi Akomodir Metode Omnibus Law

CNN Indonesia
Jumat, 26 Nov 2021 15:01 WIB
Empat hakim MK yang menyatakan pendapat berbeda dalam putusan UU Cipta Kerja, meminta pemerintah dan DPR merevisi UU PPP dalam jangka waktu 2 tahun unuk mengakomodir metode omnibus law.
Empat hakim MK yang menyatakan pendapat berbeda dalam putusan UU Cipta Kerja, meminta pemerintah dan DPR merevisi UU PPP dalam jangka waktu 2 tahun unuk mengakomodir metode omnibus law. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia --

Empat hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Arief Hidayat, Anwar Usman, Manahan M.P. Sitompul, dan Daniel Yusmic P. Foekh berpendapat metode omnibus untuk menyusun undang-undang perlu masuk dalam Undang-undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP).

Demikian tertuang dalam bagian dissenting opinion terhadap uji formil UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) putusan nomor: 91/PUU-XVIII/2020 yang dibacakan pada Kamis (25/11) di Gedung MK, Jakarta Pusat.

Mereka menyebut perubahan UU PPP harus dilakukan sesegera mungkin guna mengakomodir metode omnibus dalam pembentukan undang-undang ke depan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pembentukan undang-undang dengan metode omnibus law juga harus lah memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang sebagaimana termuat dalam UUD 1945, asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan disusun melalui proses legal drafting yang tepat, tidak boleh serampangan dan tergesa-gesa dalam proses penyusunannya, serta memerhatikan betul-betul partisipasi masyarakat," demikian dikutip dari salinan lengkap putusan uji formil UU Ciptaker.

Selain itu, mereka berpendapat waktu dua tahun cukup bagi pembentuk UU yakni pemerintah dan DPR merevisi aturan tersebut. Hal itu diperlukan untuk menjamin kepastian hukum dan kemanfaatan dalam penyusunan UU dengan menggunakan metode omnibus di masa mendatang.

"Kami berpendapat bahwa jangka waktu paling lambat dua tahun telah cukup memadai untuk melakukan perubahan UU PPP," imbuhnya.

"Sebab, berdasarkan perkembangan dan kebutuhan hukum saat ini, terdapat beberapa isu ketatanegaraan yang memerlukan akselerasi pengambilan kebijakan dengan mengutamakan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan seperti pemindahan ibu kota negara dan perpajakan," sambungnya.

Menurut mereka, Mahkamah seharusnya menyatakan UU Ciptaker konstitusional karena UU PPP sama sekali tidak mengatur metode omnibus, walaupun dalam praktik pembentukan UU sudah digunakan.

Selain itu, kata mereka, Mahkamah semestinya tidak menutup mata terkait obesitas regulasi di mana di antara UU yang satu dengan yang lainnya terjadi tumpang-tindih sehingga menciptakan ego sektoral yang berakibat pada ketidakpastian hukum dalam penerapannya.

"Untuk mengantisipasi munculnya berbagai rancangan UU omnibus yang lain, baik cluster (klaster) yang sejenis ataupun beragam (multi-klaster), maka pembentuk UU harus segera melakukan perubahan terhadap UU PPP dengan memuat metode omnibus dalam jangka waktu paling lambat dua tahun sejak putusan ini dibacakan," ujarnya.

"Setelah itu, pembentuk UU dapat menindaklanjuti dengan perubahan terhadap UU a quo dengan menggunakan metode omnibus," lanjutnya.

Sebelumnya, MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. MK memerintahkan pemerintah dan DPR memperbaiki UU tersebut dalam tenggat waktu 2 tahun.

Apabila dalam ketentuan waktu itu tidak menyelesaikan perbaikan, maka UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen. Putusan tidak bulat karena 4 hakim berbeda pendapat, yaitu Arief Hidayat, Anwar Usman, Manahan MP Sitompul, dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh.

(ryn/fra)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER