Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyatakan banjir yang terjadi di Jayapura, Papua saat ini merupakan terbesar selama delapan tahun terakhir. Pasalnya, tinggi air mencapai tiga meter dan menewaskan lebih dari lima orang.
Pengkampanye Hutan dan Kebun WALHI Uli Arta Siagian menilai faktor utama pemicu banjir tersebut adalah alih fungsi lahan daerah resapan air.
"Banjir kali ini banjir terbesar setidaknya 7 hingga 8 tahun terakhir. Penyebab utamanya adalah alih fungsi kawasan yang selama ini berfungsi sebagai daerah resapan air," kata Uli kepada CNNIndonesia.com, Jumat (7/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
Uli menyebut kebanyakan daerah resapan air itu kini berubah menjadi tambang galian C, perumahan, pertokoan dan pembangunan-pembangunan infrastruktur lainnya.
Selain itu faktor lainnya adalah pembangunan drainase yang tidak terlalu optimal. Sehingga, air tersendat dan meluap.
Hal itu, kata Uli, menunjukkan bahwa pemerintah Papua belum memiliki perspektif mitigasi yang baik. Selain itu, pemerintah Papua juga tidak mempunyai kebijakan atau program untuk menghadapi ancaman krisis iklim.
"Pemerintah Papua belum memiliki perspektif mitigasi dan adaptasi bencana serta perubahan iklim Rencana pembangunan, program serta kebijakannya," kata dia.
Direktur Eksekutif Daerah Walhi Papua, Aiesh Rumbekwan menyebut banjir di Jayapura bisa lebih besar lagi jika faktor-faktor pemicunya tak segera dibenahi.
Menurutnya, baik masyarakat atau pemerintah daerah punya andil dalam memicu bencana ekologis tersebut. Ia berkata, pemerintah tidak mempunyai rancangan tata ruang yang jelas. Sementara masyarakat juga masih abai terhadap membuang sampah.
"Banjir ini belum seberapa. Menurutku, kalau perilaku hari ini masyarakat dan Pemda tidak serius, ini tidak seberapa. Akan ada yang lebih dahsyat dari ini," kata Aiesh kepada CNNIndonesia.com.
Ia menilai, banjir besar ini bisa menjadi cambuk untuk melakukan evaluasi, terutama bagi pemerintah daerah. Pemda, kata Aiesh, seharusnya punya aturan yang jelas terkait lahan mana saja yang dapat digunakan untuk pemukiman atau aktivitas lain.
"Ini harus klir juga. Klir yang saya maksud itu harus menjelaskan kepada warga. Kalau itu ruang untuk mencari makan, jadi itu dibatasi," ucapnya.
Ia mengatakan, berbicara soal keberadaan hutan lindung, maka pemerintah harus memikirkan atau memberi solusi bagi masyarakat ketika hutan yang tadinya digunakan untuk kepentingan ekonomi telah di tetapkan sebagai hutan lindung.
Ketika tidak ada solusi ekonomi, kata dia, maka masyarakat akan kembali memanfaatkan hutan atau lahan mereka karena hal itu terikat dari sisi sejarah, walau statusnya hutan lindung. Menurutnya, saat ini banyak permukiman di wilayah penyangga yang dibangun karena ada kompromi dengan masyarakat pemilik.
"Kompromi ini didasarkan pada hak kepemilikan masyarakat yang memiliki sejarah kepemilikan secara turun temurun," ujarnya.
Aiesh berkata, alih fungsi lahan hutan, apalagi untuk bisnis harus dipikir ulang. Sebab, dampaknya bisa merembet menjadi bencana.
"Tapi kita mau bicara isu lingkungan, itu bukan berarti kita abaikan ekonomi juga. Tapi ada konsistensi dari pemerintah, itu tanggung jawab pemerintah ruang ini," ujarnya.
"Kalau dialihfungsi hutan dan itu punya ancaman terhadap kondisi lingkungan yang kita hadapi, tutup situ jangan dikasih izin. Kemudian, kembali penanaman dilakukan untuk menghijaukan ruang-ruang di tempat itu," imbuhnya.
(yla/gil)