Amnesty International Indonesia (AII) mengungkapkan seorang pengungsi perempuan berusia 35 tahun asal Somaliland terancam dideportasi pihak imigrasi Bandara Soekarno-Hatta (Soetta), Tangerang.
Direktur Eksekutif AII, Usman Hamid, menyebut pengungsi itu sampai saat ini masih ditahan di kantor imigrasi Bandara Soetta.
"Pada 9 Januari dini hari, seorang pengungsi perempuan berumur 35 tahun asal Somaliland yang sedang hamil tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Setelah tiba, dia ditahan di detensi imigrasi bandara hingga saat ini ditulis," kata Usman dalam keterangan tertulisnya, Jumat (14/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan informasi yang diterimanya, pengungsi tersebut terlihat tidak sehat dan mengalami pembengkakan di badannya.
Selain itu, pengungsi itu juga merasa khawatir karena tidak lagi bisa merasakan pergerakan janinnya. Usman mengatakan pengungsi itu sudah mulai merasakan nyeri persalinan, namun tak kunjung diberi akses ke rumah sakit oleh petugas imigrasi.
Di sisi lain, organisasi internasional yang memiliki mandat untuk mengurus pengungsi juga belum diberikan akses untuk bertemu dengan pengungsi tersebut dan melakukan verifikasi langsung.
Padahal, kata dia, perempuan itu sebelumnya sudah resmi terdaftar sebagai pencari suaka di Indonesia sejak 2016. Dia meninggalkan Somaliland karena kondisi di sana yang tidak stabil.
"Dia juga adalah seorang penyintas kekerasan seksual," ucap Usman.
Pada Desember 2021, kata Usman, perempuan itu kembali ke Somaliland karena adanya tekanan dari keluarga. Namun di sana, dia mengalami kekerasan domestik yang membahayakan kondisi fisik, psikologis, dan kehamilannya. Akhirnya, perempuan itu pun kembali mencari suaka di Indonesia.
Terkait itu pihaknya mendesak agar imigrasi Soetta tidak mendeportasi pengungsi perempuan tersebut. Apalagi, perempuan itu adalah korban kekerasan domestik dan kawin paksi di Somalia.
"Kami mendesak agar petugas imigrasi tidak mendeportasi pengungsi ini karena ada dugaan bahwa dia menjadi korban kawin paksa dan kekerasan domestik di negara asalnya," ucap Usman.
Selain itu, pihaknya juga mendesak agar pengungsi tersebut diberi akses untuk ke rumah sakit dan bantuan medis ataupun kebutuhan dasar lain yang dia perlukan.
"Menghalangi pengungsi Somaliland ini mendapatkan akses kesehatan yang layak adalah pelanggaran HAM," ucapnya.
Ia mengingatkan, Pasal 14 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menjamin hak setiap orang untuk mencari suaka di negara lain untuk menghindari persekusi.
Selain itu, Pasal 11 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) menjamin hak setiap orang atas standar penghidupan yang layak. Lalu pada Pasal 12 kovenan tersebut juga menjamin hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi kesehatan yang dapat dicapai, baik jasmani maupun rohani.
"Tidak hanya itu, hukum internasional juga telah mengatur adanya prinsip non-refoulement, yang sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional, mengatur bahwa negara tidak boleh mengirim para pengungsi dan pencari suaka ke tempat di mana nyawa mereka terancam," ujarnya.
Kepala Bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi Keimigrasian (Tikim) Imigrasi Kelas I Khusus TPI Bandara Soetta, Habiburahman, menyatakan pihaknya akan mengecek informasi yang disampaikan oleh Amnesty tersebut.
"Kami lagi berkoordinasi dengan Bidang TPI [Tempat Pemeriksaan Imigrasi] untuk mendapatkan informasi terkait hal tersebut. [Sekaligus] untuk mengklarifikasi dengan kejadian yang sebenarnya di lapangan," ucap Habiburahman melalui pesan tertulis, Jumat (14/1).
Sementara itu, Badan PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) membenarkan insiden perempuan Somalia yang hamil tua dideportasi oleh petugas imigrasi Bandara Soekarno-Hatta.
"Sayang sekali beritanya benar, sangat disayangkan," ujar kantor perwakilan UNHCR di Jakarta kepada CNNIndonesia.com, Jumat (14/1), saat dimintai konfirmasi mengenai insiden tersebut.
"Kami sangat menyayangkan keputusan pihak imigrasi Indonesia untuk mendeportasi pengungsi wanita asal Somalia tersebut (kemarin)," demikian pernyataan badan tersebut.
Selain itu, pihak UNHCR mengakui tak mendapatkan akses untuk pengungsi yang menjadi korban, meski telah meminta akses kepada otoritas yang bersangkutan.