ANALISIS

Puan Sentil Menteri di JHT dan Aksi Pilih Isu Kejar Elektabilitas

CNN Indonesia
Selasa, 15 Feb 2022 19:52 WIB
Sejumlah pakar politik merespons kritikan tiba-tiba yang dikeluarkan Puan Maharani untuk menteri Jokowi Ida Fauziah soal JHT cair di usia 56 tahun.
Puan kritik menteri Jokowi soal JHT. (Arsip Biro Pers Sekretariat Presiden)
Jakarta, CNN Indonesia --

Ketua DPR RI Puan Maharani secara tiba-tiba mengkritik kebijakan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah perihal aturan baru jaminan hari tua (JHT) yang baru bisa dicairkan pada usia 56 tahun. Puan bahkan menyindir menteri di kabinet Joko Widodo itu tidak sensitif terhadap rakyat.

"Kebijakan itu sesuai peruntukan JHT, namun kurang sosialisasi dan tidak sensitif terhadap keadaan masyarakat khususnya para pekerja," ujar Puan.

Terkait dengan kritik Puan, pengamat politik Universitas Esa Unggul Jamiluddin Ritonga tidak kaget dengan aksi curi perhatian politikus PDIP itu. Ia mengungkapkan bahwa pada dasarnya politisi memang selalu mencari momentum untuk mendapatkan perhatian dari masyarakat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, kritik yang dilontarkan para politisi adalah upaya untuk meningkatkan elektabilitas masing-masing individu maupun partai seperti yang dilakukan Puan.

"Kritik itu bukan karena substansi keberpihakannya ke rakyat atau dalam hal ini [JHT] pekerja, tapi lebih kepada untuk mendongkrak elektabilitas pribadinya secara khusus dan secara umum elektabilitas partainya," ujar Jamiluddin kepada CNNIndonesia.com, Selasa (15/2).

Terlebih Puan maupun politisi lain mengkritik kebijakan pemerintah melalui media hanya untuk mencari momentum. Jamiluddin mengungkapkan fenomena ini sudah umum terlebih mendekati pemilihan presiden atau Pilpres 2024.

"Puan yang sekarang hampir tiap hari dia muncul," paparnya.

"Nah jadi Puan memang berupaya memanfaatkan momentum karena isu JHT itu kan isu seksi yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak terutama pekerja," ucap dia.

Kritik Ambivalensi Politikus di Era Jokowi

Jamiluddin mengungkapkan tindakan Puan dan politikus lain menunjukkan ambivalensi atau sikap saling bertolak belakang. Semisal, saat proses pengesahan RUU Cipta Kerja yang menjadi proyek Jokowi, Puan adalah pihak paling gigih agar produk itu segera menjadi UU.

Padahal, RUU Ciptaker mendapat banyak sorotan dan penolakan dari masyarakat. Berbagai demo digelar untuk menentang pengesahan UU tersebut hingga akhirnya UU tersebut ditangguhkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena inkonstitusional.

"Nah padahal di sini mereka kan ambivalen, ketika misalnya RUU Ciptaker, Puan kan orang yang paling ngotot untuk menggolkan itu. Padahal itu juga terkait hajat hidup pekerja," ujar Jamiluddin.

Sedangkan, ketika menteri yang berasal dari partai lain mengeluarkan kebijakan, politisi PDIP itu tidak keberatan untuk ikut mengeluarkan kritik.

"Karena itu tidak mungkin seorang Puan atau politikus PDIP atau koalisi lainnya bertolak belakang dengan keinginan Jokowi. Coba perhatikan, mereka akan mengkritisi kebijakan-kebijakan menteri yang bukan dari PDIP," lanjutnya.

Meski demikian, Jamiluddin pun mempertanyakan para politisi yang melemparkan kritik hanya lewat rilis atau keterangan tertulis, dan tidak disampaikan secara langsung. Menurutnya, hal itu patut diragukan sebagai buah pikir para politisi melainkan tim yang menyiapkan konten seperti yang dilakukan Puan.

"Justru kita kan jadi mempertanyakan sebetulnya kapasitas Puan. Karena kalau kita lihat banyak politisi kan mereka justru langsung ngomong ke media melalui konferensi pers. Kan berbeda dengan Puan, dia kan selalu mengandalkan rilis," ujar Jamiluddin.

Padahal, jika tujuan Puan melontarkan kritik hanya untuk meningkatkan elektabilitas, maka hal tersebut dianggap memiliki efektivitas rendah. Sebabnya, Puan sekadar melontarkan kritik sebagai formalitas dan ucapan belaka.

"Artinya mereka sekedar melontarkan kritik, tapi setelah kritik, ya sudah, tidak ngotot agar kritik mereka itu direalisasikan. Karena tujuannya itu hanya meningkatkan elektabilitas," ujarnya.

Tebang Pilih Isu Publik

Ketika Puan melontarkan kritiknya pada aturan baru JHT, politikus lain dari berbagai partai tak banyak bersuara. Pengamat komunikasi politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio mengungkap dua alasan terjadinya hal ini.

Menurut Hendri, alasan pertama politisi tak berbicara adalah karena mereka pun sebenarnya tidak mengerti mengenai polemik kebijakan tersebut. Sedangkan kedua, politisi hanya mengkritisi kebijakan dari pihak-pihak yang bukan koalisinya.

Oleh sebab itu, saat kebijakan dikeluarkan dari pihak yang memiliki banyak mitra koalisi, kritik akan cenderung tidak keluar dari sesamanya.

"[Alasan politikus diam] ya karena mitra koalisi banyak. Yang sudah banyak bicara lagi-lagi PKS. Yang protes PKS, yang saya baca. Jadi kenapa mereka diam itu jangan-jangan mereka enggak tahu terus yang kedua ya karena mitra koalisi kan," papar Hendri pada CNNIndonesia.com.

Hal tersebut senada dengan tanggapan Jamiluddin yang menyebut bahwa kritik hanya dilontar oleh lawan politik masing-masing. Ia memberikan contoh bahwa kebijakan JHT ini pun tak akan dikritik oleh Ketua PKB Muhaimin Iskandar.

"Politisi lain juga sama, misalnya Fadli Zon, apa Fadli pernah mengkritisi kebijakan Prabowo dan Sandiaga? Kan tidak. Nah dia selalu mengkritisi kebijakan presiden maupun menteri-menteri lain yang berasal bukan dari Gerindra," papar Jamiluddin.

Oleh sebab itu, meskipun berada dalam koalisi yang sama, para politisi pun sebenarnya saling kritik untuk memanfaatkan momen dan terlihat seolah-olah kritis. Meskipun, tujuan awalnya, sekali lagi hanyalah elektabilitas.

"Berbeda kalau kritis itu berasal dari Demokrat dan PKS. Mereka kan sudah memang memposisikan sebagai partai oposisi. Karena itu wajar saja kalau mereka menggonggong terus menerus," pungkasnya.

(cfd/dal)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER