Muhammadiyah soal Pemilu Ditunda: Lihat Masyarakat, Bukan Cuma Survei
Para elite politik diminta menyudahi gaduh polemik usulan penundaan Pemilu 2024 sambil melihat kondisi langsung di masyarakat, bukan cuma membaca hasil survei.
"Sebaiknya wacana menunda Pemilu yang berimplikasi pada perpanjangan masa bakti Presiden-Wakil Presiden, Menteri, DPD, DPR, dan DPRD serta jabatan terkait lainnya diakhiri. Mari berpikir jernih dan jangka panjang," kata Sekretaris Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti melalui akun Twitter pribadinya @Abe_Mukti, Sabtu (26/2).
Dia juga mewanti-wanti para elite bersikap bijaksana serta mementingkan masa depan bangsa dan negara di atas kepentingan individu dan kelompok.
"Sebaiknya para elit itu melihat langsung keadaan di masyarakat. Pahami keadaan dan perasaan mereka. Jangan hanya membaca hasil survey yang mungkin saja tidak akurat," kata dia.
Diketahui, survei Litbang Kompas mencatat kepuasan terhadap Jokowi-Ma'ruf mencapai 73,9 persen pada akhir Januari 2022. Angka itu meningkat dari survei serupa pada Oktober 2021 yang mencapai 66,4 persen.
Peningkatan kepuasan publik pada survei terbaru itu disumbang oleh empat sektor, yakni politik serta keamanan, penegakan hukum, ekonomi dan kesejahteraan sosial.
Terpisah, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan godaan untuk memperpanjang masa jabatan menjadi lebih dari dua periode, pun pernah dialami Presiden pertama dan kedua RI, Soekarno dan Soeharto.
Soekarno, kata dia, melalui MPRS memperpanjang masa jabatannya sehingga dapat menjadi presiden seumur hidup.
"Dengan itu dia sudah bisa memimpin 21 tahun. Lama sekali, kalau di format UUD, bung besar berakhir di 1955..., Presiden Soeharto juga alami yang sama, godaan itu, terbawa kepada bujuk rayu partai politik, kepentingan politik tertentu, termasuk keinginan dia sendiri," ujar Feri.
Pengamat Politik dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Ahmad Sabiq mengatakan usulan penundaan Pemilu 2024 mengakibatkan erosi demokrasi.
"Usulan penundaan pemilu tanpa alasan kedaruratan dikhawatirkan dapat menggerus demokrasi meskipun terlihat legal dan konstitusional serta dengan dalih untuk kepentingan publik," katanya, dikutip dari Antara.
"Meskipun konstitusi bisa diamandemenkan namun saya kira itu dikhawatirkan mengakibatkan erosi demokrasi," lanjut dia.
Sebelumnya, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar alias Cak Imin mengusulkan penundaan Pemilu 2024 karena alasan pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Selain PKB, PAN telah mendukung usulan tersebut, dan Partai Golkar memberi indikasi kuat. Sementara, PDIP dan Partai NasDem menyatakan penolakan. PPP dan Partai Gerindra belum menyatakan sikap tegas.
Sejumlah pihak menilai usulan Cak Imin bertentangan dengan konstitusi dan melanggar UUD 1945. Jika usulan itu hendak direalisasikan, MPR perlu menggelar sidang amandemen untuk mengubah pasal yang mengatur Pemilu digelar sekali dalam lima tahun.
Lihat Juga : |
Pasal 37 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, sidang MPR untuk mengubah pasal-pasal UUD harus diajukan paling tidak oleh 1/3 dari jumlah anggota MPR. Dengan proporsi itu, sidang MPR sedikitnya harus diajukan oleh 237 dari total 700 anggota MPR atau setidaknya tiga fraksi besar di parlemen.
(yoa/khr/arh)