MRP Dukung Aksi Pakar PBB Soal Pelanggaran HAM di Papua

CNN Indonesia
Rabu, 09 Mar 2022 17:21 WIB
Ilustrasi Papua. (CNN Indonesia/Bisma Septalisma)
Jakarta, CNN Indonesia --

Pakar Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyoroti dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.

Pelanggaran HAM yang dimaksud seperti penembakan yang menewaskan anak, penghilangan paksa, dan pembunuhan terhadap Kepala Desa beserta istri dan salah seorang saudara laki-laki dari keluarga mereka.

Mengutip dari rilis resmi MRP, Rabu (9/3), laporan PBB menyebut, sejak eskalasi kekerasan pada Desember 2018, konflik telah menyebar ke 7 (tujuh) Kabupaten, yakni Nduga, Pegunungan Bintang, Mimika, Yahukimo, Puncak, dan Intan Jaya. Ada pula di Maybrat, Provinsi Papua Barat.

Berdasarkan laporan tersebut, estimasi pengungsi imbas konflik di Papua berjumlah 60.000 hingga 100.000 orang, jumlah yang pernah diumumkan oleh Dewan Gereja di Papua.

Sebagian pengungsi tidak dapat kembali ke daerah asal dan melarikan diri ke hutan sehingga tanpa akses makanan, fasilitas kesehatan dan layanan pendidikan, yang tentu meningkatkan potensi tertular Covid-19 dan risiko kematian.

PBB pun mengungkapkan bahwa bantuan kemanusiaan dari Palang Merah dan gereja memiliki akses yang terbatas pada pengungsi, sementara bantuan pemerintah daerah bagi pengungsi sangat minim.

Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib mendukung pakar HAM PBB yang menyurati pemerintah Indonesia terkait situasi pelanggaran HAM di Papua.

"Negara wajib menjawabnya, tidak boleh menyembunyikan apa yang terjadi di Papua," kata Timotius Murib dalam acara Media Briefing yang diadakan oleh lembaga kajian demokrasi Public Virtue Research Institute (PVRI) secara daring, Rabu (9/3).

Menurut Timotius Murib, pernyataan yang dilayangkan PBB ini merupakan lanjutan dari laporan sebanyak 13 halaman yang dikirimkan PBB kepada pemerintah Indonesia pada 22 Desember 2021.

"Kami pun mengapresiasi langkah Pemerintah Pusat yang sempat mengundang pemerintah provinsi Papua untuk menanggapi dugaan tersebut dengan turut menyediakan informasi yang diminta oleh para ahli PBB," ungkap Timotius.

Timotius Murib berharap pemerintah dapat mengupayakan akses korban dan keluarga mereka pada keadilan dan kepastian hukum yang dijamin oleh konstitusi.

Ia menilai sudah saatnya pemerintah pusat merealisasikan ketentuan Pasal 45-47 UU No. 21/2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yaitu dengan membentuk Komisi HAM, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dan Pengadilan HAM di Tanah Papua.

"Pemerintah perlu menyetujui rancangan Perdasus Gubernur Papua pada 2019 yang dimaksudkan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua," tuturnya.

Selain itu, Timotius Murib juga berharap akses pengungsi atas makanan, minuman, air bersih, kesehatan, fasilitas medis, pendidikan anak-anak, mata pencaharian warga dan perempuan orang asli Papua serta memulangkan mereka dengan aman ke rumah mereka masing- masing.

Sebelumnya, pada 1 Maret 2022 tiga ahli HAM PBB menyoroti dugaan pelanggaran HAM di Papua. Ketiga ahli tersebut adalah Pelapor Khusus untuk Hak-hak Masyarakat Adat Francisco Cali Tzay, Pelapor Khusus untuk Hak-hak Pengungsi Internal Cecilia Jimenez-Damary serta Pelapor Khusus untuk Eksekusi Kilat, sewenang-wenang, atau di luar Hukum Morris Tidball-Binz.

Pada 8 Februari 2022, pemerintah pusat mengundang pemerintah provinsi Papua untuk menanggapi dugaan tersebut dengan turut menyediakan informasi yang diminta oleh para ahli PBB.

(lna/dal)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK