Telepon berdering pagi sekali. "Ding, hari ini masuk lebih awal ya. Ada yang mau disampaikan," ujar suara di seberang sana. Hati Diding bergejolak. Mungkin hari ini. Ia yakin betul hari ini hari terakhir ia masuk kerja.
Firasatnya terbukti. Sejauh hari memang sudah ada bisik-bisik pengurangan karyawan di tempatnya bekerja. Virus Corona yang mulai mewabah di Indonesia pada awal 2020 menjadikan sejumlah bisnis goyang. Pembatasan kegiatan yang diatur oleh negara membuat restoran tempat Diding mencari rejeki terpaksa harus mengurangi sembilan karyawannya.
Tak ada pesangon yang diterima Diding. Hanya sisa gaji pada bulan itu, bulan terakhir ia bekerja. Tak percaya. Sepekan lebih Diding hanya bisa berdiam di kamar kos sempitnya. Ingin mengadu ke orang tua di kampung halaman pun tak dapat ia lakukan. Lagi-lagi, PPKM membuatnya sendirian di kota besar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya hanya bisa bengong. Bingung mau gimana lagi. Sendirian aja saya di kosan. Cari kerja kemana lagi saya," kata Diding saat berbincang dengan CNNIndonesia.com.
Kabar buruk kembali menghampiri Diding. Kakaknya menderita sakit dan membutuhkan perawatan dengan segera. Butuh biaya yang besar bagi keluarganya. Diding menjadi harapan keluarganya untuk keluar dari persoalan rumit itu. Hatinya tak tega acuh pada kabar tersebut. Ia juga tak kuasa membicarakan nasib malang yang baru saja menimpanya kepada keluarga.
"Butuh uang Rp20juta. Namanya kakak ya, biar gimana pun sebagai adik saya tidak tega, walau dia sudah berkeluarga. Saya kasih uang tabungan saya semua buat dia. Urusan saya gimana nanti aja lah," tutur pemuda berkulit sawo matang itu.
Kembali Diding merenung. Harus bagaimana ia menyambung hidup. Ojek online. Diding memutuskan menekuni pekerjaan sebagai ojek online yang memang sedari awal ia lakukan, menyambi mencari tambahan saat ia masih bekerja di restoran.
Ia mulai menjadikan ojek online sebagai pekerjaan tetapnya. Mengantar penumpang dan barang juga membelikan makanan. Namun, penghasilan sebagai ojek online tak menentu. Diding pun memutar kembali otaknya.
Nah! Ide muncul di kepalanya memecah kebuntuan. Teringat ia akan keahlian sang Ayah membuat kue serabi. Dengan segera ia menelepon ayahnya, meminta resep rahasia keluarga kue serabi ala kampung halamannya. Dengan bermodal Rp500 ribu, sisa uang tabungan, Diding mulai membeli perlengkapan untuk dia berjualan. Berhasil. Ia berhasil mengopi resep menjadi panganan sedap siap jual.
Tak gentar, Diding memulai bisnisnya perlahan.
"Awal-awal masih sepi yang beli. Lama-lama ya Alhamdulillah. Banyak pesanan datang," ucap Diding.
Keseharian Diding akhirnya kembali dipenuhi kesibukan.
Dini hari Diding pergi ke pasar untuk membeli bahan-bahan kue untuk berjualan. Tepung dan kelapa ia campurkan membuat adonan serabi. Gula merah ia cairkan sebagai pelengkap kudapan ringan nan lezat itu. Dibungkusnya dalam sekantong kecil. Cukup untuk 5 lembar serabi yang akan ia jual per paket.
Tak menunggu ayam berkokok, didorongnya gerobak dengan semangat menuju sumber rezekinya. Diding mulai mematangkan adonan. Serabi hangat siap untuk ia jajakan ke pedagang di Pasar Kebayoran Lama. Tak hanya pedagang, ia juga menargetkan dagangannya pada para pengunjung pasar. Matahari mulai naik, sekejap adonan serabi Diding habis tak bersisa. Senyum tergores di wajahnya.
"Kalau sudah habis jualan. Saya pulang ke kosan dulu. Istirahat. Tidur 2-3 jam baru saya narik ojek," tuturnya.
Perlahan ekonominya kembali membaik. Tabungan pun mulai terisi. Bahkan anak itu masih menyisihkan mengirim uang untuk kedua orang tuanya di kampung. Rp2 juta per bulan.
Diding pun tak menyiakan kesempatan ketika Ramadan datang. Tentu saja Diding akan menjajakan serabinya untuk para pemburu takjil. Ia yakin, pesanan juga akan membeludak di bulan Ramadan.
"Kalau Ramadan biasanya sudah banyak yang antre pesanan. Sehari ada yang pesan 100-150 biji. Capek tapi senang kalau banyak pesanan. Jadi enggak perlu keluar berdagang lagi," ungkapnya.
Pundi-pundi pun berdatangan. Puas dan bersyukur Diding tanamkan atas perolehannya. Badai sudah berhasil ia lalui. Namun baginya perjalanan masih panjang. Pria yang pernah menjadi koki itu berharap usahanya melebar hingga memiliki kios.
Di antara berjuta doanya, keinginannya saat ini hanya satu.
"Bisa pulang ke kampung halaman ," bergetar suaranya terdengar.
Rindu tak lagi terbendung kepada kedua orang tuanya. Tahun ini Diding bertekad pulang. Dua tahun tertahan karena pandemi. Hanya bisa berkabar dengan orangtua melalui sambungan telepon.
"Saya pernah, sampai nangis-nangis sendirian. Sesegukan. Lebaran tidak bisa pulang. Cuma di kosan sendiri. Duh sedih bener dah," ucapnya sembari memaksakan tersenyum.
Ramadan tahun ini, Diding bersemangat berjualan lebih keras dari biasanya agar bisa pulang kampung dengan membawa hasil jerih payahnya. Sebuah desa di Kuningan, Jawa Barat menjadi tujuannya. Berharap bisa merayakan Hari Kemenangan bersama yang tercinta.
(isn/isn)