Bersama Mengawal Moderasi Beragama di Indonesia

Kementerian Agama | CNN Indonesia
Rabu, 06 Apr 2022 09:17 WIB
Keberagaman yang ada pada masyarakat Indonesia adalah kekayaan bangsa. Namun demikian, dalam kenyataannya masih banyak gesekan akibat pengelolaan keragaman.
Ilustrasi. (Foto: CNN Indonesia/ Adi Maulana)
Jakarta, CNN Indonesia --

Keberagaman yang ada pada masyarakat Indonesia adalah kekayaan bangsa. Hal itu mutlak, dengan pluralitas yang terdiri dari banyak suku, ras, bahasa, dan agama.

Ideologi Pancasila yang lantas berperan sebagai falsafah dan landasan bernegara, kemudian juga menjadi pemersatu rakyat Indonesia. Namun demikian, dalam kenyataannya masih banyak gesekan akibat pengelolaan keragaman.

Kasubdit Katering pada Ditjen PHU Kementerian Agama, Ahmad Abdullah mengatakan, tak jarang kekeliruan tersebut melahirkan petaka konflik sosial yang bisa meluas dan berkepanjangan. Dia menilai, disharmoni sosial berlatar agama belakangan ini adalah fakta buruk, bahkan menjadi ancaman laten.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kita masih kerap menyaksikan adanya gesekan sosial akibat perbedaan cara pandang masalah keagamaan. Ini tak ayal sangat mengganggu harmoni dan kerukunan umat beragama yang kita idam-idamkan bersama," kata Ahmad.

Sejak 2019, Kemenag telah menawarkan solusi pengarusutamaan program moderasi beragama, sebagai upaya mendorong perkembangan moderasi keagamaan. Ahmad mengingatkan agar masyarakat tak terburu-buru menilai beragama jalan tengah sebagai beragama setengah-setengah, apalagi menyamakannya dengan stigma liberal.

Dia menjelaskan, moderasi berasal dari bahasa Latin, yaitu moderâtio, yang berarti ke-sedang-an, tidak kelebihan dan tidak kekurangan. Ketika kata moderasi disandingkan dengan kata beragama, maka istilah tersebut merujuk pada sikap mengurangi kekerasan, atau menghindari keekstreman dalam praktik beragama.

"Jika dielaborasi lebih jauh, moderasi beragama dapat dimaknai sebagai pemahaman dan praktik keagamaan yang moderat, mengambil "jalan tengah" (middle way) antara ekstrem kanan dan ekstrem kiri," ujar Ahmad.

Ahmad menegaskan, segala hal yang berlebihan, termasuk dalam beragama, adalah tercela. Baik ekstrem kanan maupun kiri sama-sama tidak bisa dibenarkan dalam agama. Sebaliknya, pemeluk agama dituntut bersikap moderat, i'tidal dan tawassuth dalam keseluruhan praktik kehidupan beragama.

Keberagaman yang Moderat

Keberagaman yang moderat diyakini menggunakan rasionalitas, yang membuat paham moderat terhindar dari ekstrem kanan yang mengidealkan konservativisme agama. Ahmad menjelaskan, ide dasar moderasi adalah mencari persamaan, bukan mempertajam perbedaan.

Faktanya, ada kelompok ultra-konservatif yang meyakini mutlak kebenaran tafsir teks agama, dan menganggap sesat penafsir selain dia. Ada juga kelompok ekstrem liberal, yang mendewakan akal hingga mengabaikan agama, atau memiliki toleransi yang tidak tepat terhadap pemeluk agama lain.

"Model pendekatan moderasi beragama merupakan langkah lebih maju dari pendekatan mainstream deradikalisasi, karena ia hendak melakukan perbaikan dari dalam. Melalui moderasi beragama, umat beragama tidak diposisikan sebagai sumber masalah, tetapi sebagai anak didik yang perlu dilunakkan pemahaman keagamaannya," ungkap Ahmad.

Dalam konteks bernegara, moderasi beragama penting diterapkan agar paham agama yang berkembang tidak bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan. Saat ini, moderasi beragama telah masuk dalam agenda prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, yang disusun oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Pada aras ini, moderasi beragama dikembangkan menjadi program yang dilembagakan. Pelembagaan moderasi beragama artinya menerjemahkan moderasi beragama ke dalam institusi, lembaga, struktur, atau unit yang secara khusus memikirkan strategi implementasi konsep ini. Sehingga, dapat dipaparkan menjadi program dan kegiatan yang terukur dan berkesinambungan.

"Pekerjaan rumah berikutnya bagaimana mengawal implementasi moderasi beragama dalam kehidupan nyata, baik dalam konteks bermasyarakat, berbangsa dan bernegara," tutur Ahmad.

Integrasi moderasi beragama dalam RPJMN menjadi langkah progresif. Sebab, dokumen RPJMN dapat berfungsi sebagai pedoman kementerian atau lembaga dalam menyusun rencana strategis, bahan penyusunan dan penyesuaian RPJM Daerah, menjadi pedoman pemerintah dalam menyusun Rencana Kerja Pemerintah (RKP), dan menjadi acuan dasar dalam pemantauan dan evaluasi RPJM Nasional. Selain itu, RPJMN juga dapat menjadi acuan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan dan pengawasan pembangunan nasional.

Ahmad menyebut, ada sejumlah implementasi moderasi beragama lain, misalnya lewat internalisasi nilai-nilai esensial ajaran agama; meneguhkan toleransi seraya menolak segala jenis bentuk kekerasan atas nama agama; juga memperkuat komitmen bernegara.

Moderasi Beragama yang Teduh

Ahmad mengakui, implementasi moderasi beragama memang tak mudah. Hal itu tergambar melalui pengaturan pengeras suara sesuai Surat Edaran Menteri Agama Nomor 5 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala, yang sebenarnya bukan melarang suara adzan, melainkan pembatasan volume alat pengeras suara yang berlebihan yang dapat menimbulkan kebisingan.

Ada tiga alasan guna mendukung pengaturan pembatasan pengeras suara ini. Pertama, pengaturan suara toa sejatinya merupakan bentuk manivestasi nyata dari sikap beragama yang moderat dan tidak berlebihan.

Kedua, pemerintah Arab Saudi pun terlebih dahulu mengeluarkan edaran terkait pengaturan pengeras suara di masjid dan musala pada Juni 2021 silam. Surat edaran itu menjelaskan terkait pembatasan pengeras suara yang diperbolehkan untuk syiar keagamaan. Ketiga, sebelum Arab Saudi, pemerintah Mesir justru lebih dulu membuat peraturan serupa sejak 2018 silam.

Adapun penyebabnya sama dengan Arab Saudi, yakni banyaknya keluhan terkait volume pengeras suara masjid yang dinilai terlalu besar.

(rea)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER