Mengenal Tarekat Naqsabandiyah dan Penyebarannya di Tanah Minang

CNN Indonesia
Minggu, 10 Apr 2022 16:45 WIB
Terdapat dua titik penyebaran Tarekat Naqsabandiyah di Sumbar, yaitu di Kabupaten Pasaman dan di Kabupaten Lima Puluh Kota dan sekitarnya.
Ilustrasi. Sejarah dan perkembangan Tarekat Naqsabandiyah di Sumatera Barat (AFP/CHAIDEER MAHYUDDIN)
Padang, CNN Indonesia --

Pepatah Adat basandi syara, syara basandi kitabullah menjadi acuan masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat (Sumbar). Di mana setiap adat harus melekat kepada ajaran agama Islam, yang bersumber dari Kitabullah atau Al-Qur'an.

Secara filosofis, masyarakat minang awalnya mengambil acuan kepada gejolak dan hukum alam untuk mempelajari segala sesuatu. Namun, setelah Islam masuk pada sekitar abad ke-19 awal melalui jalur pesisir pantai, adat berjalan seiring dengan tuntutan agama.

Penyebaran Islam di Ranah Minang ditandai dengan gejolak perang antara kaum adat dan kaum agama yang terkenal dengan Perang Padri. Banyak artikel yang mengatakan penyebaran awal agama Islam di Sumbar merupakan gerakan Wahabi yang bermazhab Hambali.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Akan tetapi, hal tersebut dibantah oleh beberapa peneliti. Pasalnya para penyebar agama Islam di Sumbar tidak menolak Maulid Nabi dan berziarah ke makam yang identik dengan mazhab Syafi'i, meskipun semangat penyebarannya yang mereka bawa dalam penyebaran agama Islam serupa dengan semangat Wahabi di Mesir.

Salah satu tokoh Naqsabandiyah, Syeikh Ibrahim Kumpulan ikut membantu Tuanku Imam Bonjol berjuang pada Perang Padri di Minangkabau ketika melawan Kompeni Belanda pada sekitar tahun 1820-1830. Di mana pada tahun yang sama juga ditandai sebagai awalnya keberadaan Tarekat Naqsabandiyah pertama kali di Sumbar.

Terdapat dua titik penyebaran Tarekat Naqsabandiyah di Sumbar, yaitu di Kabupaten Pasaman yang dibawa oleh Syekh Ibrahim Kumpulan dan di Kabupaten Lima Puluh Kota dan sekitarnya yang disebarkan oleh Syekh Muhammad Taher atau juga disapa Syekh Barulak dan Syekh Abdurrahman yang merupakan kakek kandung dari Wakil Presiden pertama RI, Muhammad Hatta.

Menariknya penyebaran Tarekat Naqsabandiyah yang berporos di Kabupaten Lima Puluh Kota itu disebarkan oleh dua orang ulama yang berguru kepada Syekh Ismail Al-Minangkabauwi atau yang akrab disapa Syekh Ismail Simaburi karena berasal dari Desa Simabur.

Meskipun Simaburi tidak pernah pulang ke Minangkabau, perannya sangat penting dalam memediasi para ulama Minangkabau dengan titik pusat peradaban Naqsabandiyah di Jabal Abi Qubais, Timur Tengah.

Menurut Sejarawan yang meneliti mengenai Naqsabandiyah, Chairullah, M. A.Hum, Syekh Kumpulan dan Syekh Simaburi merupakan dua orang yang belajar ilmu tarekat di masa yang sama. Namun, Simaburi memilih untuk menetap di Timur Tengah, sedangkan Kumpulan memilih untuk pulang kampung dan menyebarkan tarekat di Minangkabau.

Menganut pemahaman Asy'ariyah, Tarekat ini tergolong ke dalam ikhtiqlab Ahlu Sunnah yang bermazhab Syafi'i. Di mana, diberitahukan pemahaman Maturidiyah dan Asy'ariyah merupakan golongan yang berada di sisi Allah.

"Di mana terdapat 72 golongan islam itu dibagi berdasarkan ikhtiqlab-nya masing-masing. Namun yang di sisi Tuhan itu yaitu Ahlul Sunnah Waljamaah. Di mana identik dengan Asy'ariyiah dan Maturidiyah pemahamannya," jelasnya.

Hingga saat ini, ajaran Tarekat Naqsabandiyah tersebar di beberapa kabupaten dan kota di Sumbar seperti Kabupaten Pasaman dan Pasaman Barat, Kabupaten Lima Puluh Kota, Kabupaten Tanah Datar, Kota Padang, Kota dan Kabupaten Solok dan Kabupaten Solok Selatan.

Bentuk penyebaran Tarekat Naqsabandiyah di Minangkabau

Berdasarkan laporan Sejarawan Belanda, menurut Chairullah di Sumbar terdapat dua mazhab besar di awal mula penyebaran agama Islam di Sumbar, yaitu Mazhab Cangkiang dan Mazhab Ulakan. Kedua mazhab inilah yang kemudian diasumsikan menjadi Tarekat Naqsabandiyah dan Tarekat Satariyah.

Terdapat beberapa perbedaan dalam melihat perspektif Islam antara kedua mazhab tersebut. Misalnya, jika Cangkiang dikenal oleh orang Belanda menggunakan ketetapan-ketetapan tertentu dalam memaknai sunnah dan hadis, sedangkan Ulakan menggunakan logika dan penglihatan-penglihatan nyata.

Kemudian, Sejarawan yang sekaligus Ketua Komunitas Suaka Luhung Naskah (SULUAH) tersebut juga menjelaskan kedua mazhab tersebut memiliki beberapa perbedaan dalam proses spiritual mendekatkan diri bertemu Tuhan.

"Dalam Tasawuf, Mazhab Cangkiang termasuk ke dalam tasawuf Akhlaqi, di mana amalannya semacam berzikir dan suluak," jelasnya kepada CNNIndonesia.com.

Jemaah Tarekat Naqsabandiyah melaksanakan Salat Idulfitri di Surau Baru, Pauh, Padang, Sumatra Barat, Sabtu (24/6). Tarekat Naqsabandiyah menetapkan satu Syawal 1438 Hijriah jatuh pada Sabtu (24/6), didasari dengan metode hisab Munjid, yakni penghitungan 30 hari sejak awal puasa yang telah digunakan secara turun temurun di tarekat tersebut. ANTARA/Iggoy el Fitra/kye/17Foto: ANTARA/Iggoy el Fitra
Jemaah Tarekat Naqsabandiyah melaksanakan Salat Idulfitri di Surau Baru, Pauh, Padang, Sumatra Barat, Sabtu (24/6). Tarekat Naqsabandiyah menetapkan satu Syawal 1438 Hijriah jatuh pada Sabtu (24/6), didasari dengan metode hisab Munjid, yakni penghitungan 30 hari sejak awal puasa yang telah digunakan secara turun temurun di tarekat tersebut. ANTARA/Iggoy el Fitra/kye/17

Tata cara berzikir dimaknai secara luas oleh Tarekat tersebut sehingga ada yang disebut lafaiz-lafaiz untuk menjelaskan terdapat beberapa titik-titik zikir pada tubuh yang dapat membantu dalam melakukannya.

Sedangkan Suluk dalam bahasa aslinya merupakan Riaddoh yang berarti latihan dalam mengendalikan nafsu. Selama 40 hari, jamaah tarekat akan berdiam diri di masjid atau musala yang sudah dipersiapkan. Mereka melakukan salat berjamaah dan berzikir tiada henti selama waktu tersebut.

Setiap peserta suluk juga dilarang mengonsumsi makanan yang berdarah atau hewan. Hal tersebut bertujuan untuk menekuk hawa nafsu karena daging hewan diyakini dapat membuat tubuh menjadi panas dan meningkatkan nafsu yang membawa hamba-Nya kepada keburukan.

Bentuk Penerimaan Tarekat Naqsabandiyah di tengah-tengah masyarakat Minang

Penyebaran agama Islam di Minangkabau identik dengan ajaran tasawuf dan tarekat. Selama itu identik dengan tarekat dan spiritual, masyarakat Sumbar secara umum dapat menerimanya dengan baik.

"Di dalam Naqsabandiyah, seorang guru yang menyebarkan ajaran-ajaran tarekat disebut dengan murshid. Jadi seorang murshid ketika melakukan pematangan akhlak, alangkah baiknya pergi ke Timur Tengah, meskipun sudah memperoleh sertifikat maqammursyid dari gurunya," jelas Chairullah.

Ketika CNNIndonesia.com bertanya kepada Sejarawan yang sekaligus Ketua Komunitas Suaka Luhung Naskah (Suluah) itu tentang Naqsabandiyah yang pernah disebut-sebut sebagai aliran sesat, Chairullah menjawab tidak ada hal yang melenceng yang dilakukan oleh tarekat Naqsabandiyah.

"Yang dikatakan sesat itu melenceng dari ajaran agama Islam, tapi Naqsabandiyah selama melakukan suluk, malah melakukan ibadah yang mungkin orang biasa tidak mampu melakukannya," jelasnya.

Chairullah menegaskan, Tarekat Naqsabandiyah menjalankan syariat Islam secara batin atau tasawuf, sedangkan Islam pada umumnya melakukan syariat secara zahir atau fiqih. Perbedaan kedua sudut pandang tersebut berada pada menentukan halal-haram, baik-buruk dan sebagainya.

Perumpamaannya, kata Chairullah, jika dua orang yang menjalankan agama dalam sudut pandang berbeda yaitu secara zahir dan tasawuf memiliki 10 ekor kambing, kemudian ditanya berapa zakatnya.

"Maka orang zahir menyebut dalam 10 ekor kambingnya, terdapat satu ekor kambing yang wajib untuk dizakatkan. Sedangkan orang tasawuf atau batil menyebut kesepuluhnya merupakan zakat, sebab semuanya milik Tuhan," tutupnya.

(nya/isn)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER