Masjid Luar Batang dan Kisah Hilangnya Jenazah Habib Husein
Silih berganti rombongan memasuki sebuah masjid di Penjaringan, Jakarta Utara, Rabu (16/3) siang. Waktu solat Zuhur, sudah lewat ketika itu.
Banyak dari rombongan yang datang menggunakan bus, ada yang menggunakan kendaraan pribadi. Kendaraan di parkir di antara warung-warung kaki lima yang berdiri di luar kawasan masjid.
Dua menara dengan ujung lancip terlihat jelas ketika masuk ke kawasan masjid. Di selasarnya, puluhan orang duduk bersila. Beberapa dari mereka menengadahkan tangan, berdoa, membaca Alquran dan Buku Yasin.
Aktivitas orang-orang itu dilakukan tepat di antara dua buah makam yang ada di selasar masjid. Sutinah, perempuan paruh baya yang berasal dari Banten, adalah salah satu yang melakukan aktivitas itu.
"Ziarah ya, cuma ingin berdoa aja. Sudah lama ingin ke sini," kata Sutinah.
Makam yang ada di selasar masjid itu adalah makam seorang penyiar Islam yang berasal dari Yaman dan meninggal di Indonesia, yakni, Habib Husein Bin Abubakar Alaydrus, dan makam muridnya yang seorang Tionghoa, Abdul Kadir.
Kisah Habib Husein, konon, menjadi musabab nama masjid itu kini dikenal dengan Masjid Jami Keramat Luar Batang, pun begitu dengan nama kampungnya, Kampung Luar Batang.
Sekretaris DKM Masjid Jami Keramat Luar Batang, Daeng Mansur menceritakan sebelum menetap di Kampung Luar Batang, Habib Husein sempat menyiarkan Islam di beberapa daerah, seperti Jawa Tengah, Jawa Timur hingga Jawa Barat.
Dalam sebuah tulisan, kata dia, Habib Husein sempat disebut sebagai salah satu penyiar Islam termasyhur di pesisir utara Jawa pada tahun 1700an.
Jauh sebelum ke Nusantara, Habib Husein juga disebut sempat hijrah ke Kota Surat di Gujarat, yang sedang terjangkit wabah dan dilanda kekeringan. Konon, kedatangannya mendatangkan kesehatan dan juga hujan.
Dikutip dari situs dinaskebudayaan.jakarta.go.id, ketika datang di Batavia atau tepatnya di Pelabuhan Sunda Kelapa, Habib Husein diberi sebidang tanah oleh warga setempat. Tanah tersebut kemudian dibangun musala yang kemudian menjadi tempat tinggalnya.
Lama kelamaan, surau tersebut yang juga menjadi makam Habib Husein dibangun menjadi Masjid Luar Batang. Sebelumnya, nama Masjid Luar Batang adalah Masjid An Nur. Kini An Nur dipakai menjadi nama Taman Pendidikan Alquran (TPA).
"Persinggahan terakhir adalah luar batang. Saat itu Kampung Luar Batang namanya Kampung Baru. Makanya ada Muara Baru," kata Daeng.
Setelah beberapa lama menyiarkan Islam di tempat itu, Habib Husein wafat pada 1756. Konon, saat jenazahnya hendak dikuburkan di sekitar Tanah Abang, sesampainya di lokasi penguburan, tiba-tiba jenazah Habib Husein yang semula ada dalam kurung batang hilang.
Jenazah kembali ke tempat yang digunakan Habib Husein untuk beristirahat dan mengajar saat masih hidup.
Kejadian tersebut berlangsung hingga beberapa kali. Pengusung bolak-balik ke tempat pemakaman, namun kejadian serupa terulang.
Akhirnya jemaah pun sepakat untuk memakamkan jenazah Habib Husein di tempat sekarang.
"Itu lah kenapa berubah namanya menjadi Kampung Luar Batang. Orang kita kan bilang keranda jenazah itu kurung batang, simpelnya jadi keluar dari kurung batang. Jadi luar batang. Peristiwa itu yang mengubah nama kampung dan masjid," kata Daeng.
Menurut Daeng, peristiwa itu merupakan hal luar biasa yang menjadi penanda soal keinginan Sang Habib untuk dimakamkan.
"Itu kan satu hal yang luar biasa, artinya beliau minta dimakamkan di titik beliau, di rumahnya lah, di ruang tamu," kata Daeng.
Daeng mengatakan aktivitas ziarah ke makam Habib Husein bukan baru-baru ini saja. Aktivitas ziarah sudah mulai ada sejak Habib Husein wafat.
Sebagai sosok yang sempat ke sejumlah daerah untuk menyiarkan Islam, wajar menurutnya Habib Husein memiliki murid.
"Saat beliau meninggal sudah mulai diziarahi orang. Tahun 1800 sudah ramai, enggak aneh, karena beliau penyiar Islam, wajar murid mengunjungi makam gurunya," katanya.
Hingga kini, makam Habib Husein tetap menjadi tujuan destinasi ziarah. Tak hanya masyarakat dari dalam negeri, bahkan berasal dari mancanegara.
Daeang menyampaikan, biasanya, aktivitas ziarah makam ramai di waktu Magrib hingga Subuh.
Apalagi, masa sebelum pandemi Covid-19. Menurutnya, jumlah peziarah bisa ribuan dalam sehari saat beberapa tahun lalu.
"Berziarah ada dua (tujuan) menurut saya. Ada yang murni, ada yang plus-plus, yang plus-plus tidak mau saya bahas. Kalau yang murni, contoh saya ziarah ke makam Wali Allah, sebagai ucapan terima kasih kepada beliau-beliau yang sudah berjuang sehingga Islam tersebar," katanya.
(isn)