Masjid Babul Firdaus Jongaya salah satu masjid yang cukup banyak menyimpan cerita sejarah perlawanan ulama di Makassar, Sulawesi Selatan, di masa penjajahan Belanda. Masjid ini terletak di Jalan Kumala, Kecamatan Tamalate, Kota Makassar yang telah berusia 129 tahun.
Masjid yang dibangun pada masa Raja Gowa ke 34 yakni, Imakkulau Daeng Serang Karaeng Lembang Parang atau Sultan Husain Tumenanga Ri Bundu'na. Masjid ini dibangun dengan ukuran 12 x 12 meter untuk memudahkan masyarakat dan raja Gowa dalam melaksanakan ibadah.
"Masjid ini dibangun oleh Raja Gowa, mengingat waktu itu, masyarakat kerajaan Gowa masih kesulitan untuk melaksanakan ibadah tertentu. Khususnya Salat Jumat, Salat Id. Sehingga beliau dengan kemufakatan para ulama, waktu itu, maka dibangun masjid ini," kata Ketua Pengurus Masjid Babul Firdaus Jongaya, Andi Ali Bau Syawa Mappanyukki, Minggu (24/4).
"Masjid ini pertama kali dibangun sekitar ukuran 12 x 12 meter. Seperti di bawah (lantai) ini ada marmer, inilah masjid asli pertama dan awalnya menara di sini awalnya ada di luar masjid," sambungnya.
Andi Ali menyebutkan, Masjid Babul Firdaus Jongaya ini merupakan masjid tertua ketiga dari Kerajaan Gowa, di antaranya, Masjid Katangka Gowa dan Masjid Taeng Gowa.
"Di mana pusat kerajaan beliau di sebelah selatan masjid ini. Kurang lebih berjarak sekitar 250 meter dari masjid ini. Jadi masjid ini sudah berusia sekitar 129 tahun," bebernya.
Setelah masjid ini dibangun, imam pertama pada masa itu adalah salah satu ulama dari Kabupaten Barru, Haji Abdul Samad Daeng Salle. Selain sebagai imam, ia juga sebagai pengurus masjid, kemudian turun ke anaknya bernama, Abdullah Musa Daeng Nai.
"Terakhir kami yang dari cucu langsung dari Andi Mappanyukki," lanjutnya.
Di era awal pembangunan masjid ini, terang Andi Ali, telah terjadi pergolakan cukup besar Kerajaan Gowa melawan penjajah Belanda. Perlawanan Kerajaan Gowa ini yang terbesar kedua setelah pada masa Raja Gowa Sultan Hasanuddin.
"Memang pada era dibangun masjid ini, pergolakan-golakan pada waktu itu sangat besar. Jadi di era Kerajaan Gowa pimpinan Imakkulau, tensi perlawanan ke Belanda itu memang dikata terbesar kedua setelah zamannya Sultan Hasanuddin," ungkapnya.
Karena besarnya perlawanan Kerajaan Gowa saat itu, tutur Andi Ali, Raja Gowa Imakkulau harus meninggalkan kerajaannya. Disebabkan, tidak ingin adanya pengaruh Belanda di dalam kerajaannya dan tidak ingin diatur saat itu.
"Jadi beliau melakukan perlawanan gerilya. Dia tinggalkan kerajaannya membawa pasukan yang ada, keluarganya, melakukan perang gerilya dari sini beralih ke Balang Baru, lalu dari Balang Baru ke Manuju dan ke utara," jelasnya.
Diawal peperangan dengan Belanda, Raja Imakkulau banyak mendapatkan tantangan yang sangat berat. Karena Raja Gowa, Imakkulau tidak mendapatkan bantuan maupun sokongan dari dalam kerajaan Gowa sendiri.
"Sebagian kerajaan kecil, maupun keluarganya yang ikut ke Belanda. sehingga beliau kesulitan untuk melakukan perlawanan besar. Sehingga beliau bergerilya bersama putranya Andi Mappanyukki. Di tengah perjalanan beliau ini, perintahkan putranya ini untuk kembali ke Kerajaan Gowa untuk melihat rakyat Kerajaan Gowa," tuturnya.
Andi Mappanyukki pada masa itu merupakan seorang panglima perang di Kerajaan Gowa. Namun, Raja Imakkulau tidak mendapatkan sogokan dari Kerajaan Gowa.
"Bahkan panglima perangnya pun waktu itu tidak membela Raja Gowa. Malah meninggalkan sampai ke daerah Bugis. Sehingga pimpinan panglima perang diambil alih oleh Andi Mappanyukki. Setelah kembali ke perang gerilya, Andi Mappanyukki melakukan konsolidasi dengan para tokoh," katanya.
Saat melakukan perang gerilya, Raja Imakkulau sempat tertangkap oleh tentara Belanda. Kemudian dia diasingkan ke Toraja pada tahun 1939. Setelah itu, Ia kembali dan menggalang kekuatan untuk melawan Belanda.
"Pada 1939, beliau diasingkan ke Toraja. Kembali lagi setelah tiga tahun ke sini. Di era sebelum kemerdekaan, beliau menggalang kekuatan melawan Belanda. Mulai dari laskar yang dipimpin oleh putranya, Bau Massepe yang ada di Suppa, Laskar Bajeng dan beberapa laskar yang ada para tokoh, pemimpin kerajaan," tuturnya.
Tak hanya itu, Raja Gowa Imakkulau juga merangkul para ulama untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Sehingga Masjid Babul Firdaus Jongaya pun dijadikan tempat untuk mengatur strategi dan konsolidasi dengan para tokoh tersebut.
"Pada waktu itu di rumah besar kerajaan, beliau menjadikan empat pertemuan besar para tokoh pejuang dan masjid ini pun pada waktu tertentu dijadikan tempat beliau melakukan diplomasi dan konsolidasi dengan para tokoh itu. Namun di masjid ini terbatas karena saat itu, di sekitar Kerajaan Gowa banyak mata-mata Belanda. Sehingga sangat terbatas untuk melakukan aktivitas politis melawan Belanda," pungkasnya.
(mir/isn)