Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) mengatur ancaman pidana hingga 3,5 tahun bagi setiap orang yang dianggap menyerang kehormatan dan harkat martabat presiden dan wakil presiden. Ketentuan tersebut diatur dalam pasal 218 KUHP ayat (1).
Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddward Sharif Omar Hiariej mengklaim pasal penghinaan presiden di RKUHP tersebut merupakan delik aduan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yang ada dalam RKUHP ini adalah delik aduan dan kami menambahkan itu bahwa pengaduan dilakukan secara tertulis oleh presiden atau wakil presiden," kata Eddy kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Rabu (25/5).
Selain itu, kata Eddy, pasal tersebut juga dikecualikan alias tak bisa dilakukan penuntutan jika pernyataan dimaksudkan untuk kepentingan umum atau membela diri.
Eddy menyebut pasal penghinaan presiden semula hanya delik biasa, namun kini menjadi delik aduan. Ia menepis pasal yang ada saat ini menghidupkan kembali pasal sebelumnya.
"Jadi sama sekali kami tidak membangkitkan pasal yang sudah dimatikan oleh MK, justru berbeda. Kalau yang dimatikan MK itu delik biasa," katanya.
Dalam RKUHP, Pasal 219 mengatur sejumlah tindakan yang dimaksud menyerang kehormatan dan harkat presiden.
Beberapa di antaranya seperti menyiarkan, mempertunjukkan, menempelkan tulisan atau gambar di muka publik, termasuk melalui media elektronik.
"... yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV," demikian bunyi Pasal 219.
(thr/fra)