Pada Jum'at, 27 Mei 2022 kemarin, Indonesia kehilangan ikon pluralisme: Ahmad Syafii Maarif. Ikon yang mewariskan pemikiran dan jejak intelektual, membela nilai-nilai pluralisme dan toleransi.
Seperti ditulis harian berbahasa Inggris The Jakarta Post, ia merupakan "Indonesia's pluralist icon",seorang ikon pluralis Indonesia (Yerica Lai, 27 Mei 2022). Ia tergolong generasi pertama Muslim "neo-modernis" yang mengembangkan perjumpaan pemikiran Islam dengan nilai-nilai demokrasi di Indonesia.
Ia adalah satu dari sekian tokoh Muslim progresif, seperti Nurcholis "Cak Nur" Madjid, Abdurrahman "Gus Dur" Wahid, Kuntowijoyo, Dawam Rahardjo, dan Djohan Effendi.
Sebutan "Sang pluralis muslim Indonesia" kian mengemuka hingga tingkat dunia ketika pada 2008 ia dianugerahi Ramon Magsaysay Awards.
Penghargaan prestisius yang dibuat untuk mengenang kenegarawanan mantan Presiden Filipina ini dianugerahkan atas peran Syafii Maarif membimbing umat Islam dalam merangkul nilai-nilai toleransi dan pluralisme.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dua kata "pluralisme" dan "toleransi" memang tepat untuk melukiskan legacy sosok yang biasa disapa Buya ini. Pluralisme adalah sebuah ide yang secara historis muncul bersamaan dengan penerimaan bertahap dari gagasan toleransi usai Eropa dilanda perang agama selama abad XVI dan XVII (Sartori 1997).
Toleransi dan pluralisme merupakan konsep berbeda, tetapi sangat berkaitan. Pluralisme mengandaikan toleransi. Jika toleransi menghargai nilai, maka pluralisme mengedepankan nilai. Pluralisme menegaskan keyakinan bahwa keberagaman dan perbedaan pendapat adalah nilai- nilai yang memperkaya individu, politik dan masyarakat.
Dengan nilai pluralis medan toleransi itu, Buya membela warga minoritas dari kekerasan dan intoleransi kelompok konservatif, termasuk akibat kebijakan pemerintah yang mendiskriminasi mereka karena aliran agama dan keyakinan.
Dengan pengertian inilah kita memahami mengapa dan bagaimana Buya membela pluralisme di era Reformasi. Meski bukan menghadapi skala perang agama ala Eropa, pembelaan Buya tidak bisa diremehkan.
Contoh, saat terjadinya pertentangan politik identitas Muslim versus non-Muslim atau pribumi versus non-pribumi dalam perebutan kursi gubernur Pilkada DKI Jakarta 2017. Ia membela Ahok yang diserang oleh elite-elite politik dan Islamis sektarian yang didukung massa.
Contoh lainnya adalah saat terjadi pertentangan antara Islam dan aliran-aliran dalam Islam seperti tercermin dalam kasus persekusi warga Syiah dan Ahmadiyah. Saat bersama Buya membela hak-hak warga Ahmadiyah, saya sendiri merasakan derasnya kecaman kalangan Islam konservatif.
Buya nyaris sendirian membela warga Ahmadiyah saat diserang dengan tuduhan menganut keyakinan 'terlarang' sejak era SBY hingga Jokowi. Pluralisme pun diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia dan sederet petinggi organisasi Islam, termasuk yang pernah dipimpinnya.
Tapi Buya tak gentar. Keimanan islam pribadinya terlanjur memancarkan wawasan pluralisme yang berdiri tegak di atas kecintaan negeri (hubbul wathan minal iman), kecintaan sesama (ruhama'u baynahum) dan keyakinan pada kemuliaan manusia (al-karomiyah al-insaniyah).
Pluralisme Buya sejalan dengan pemikiran pluralisme nilai dari Isaiah Berlin. Nilai-nilai dasar kemanusiaan dilihat bukan hanya bersifat universal, tetapi juga bersifat plural, mengandung pertentangan di dalamnya, dan tidak dapat dibandingkan.
Lihat Juga : |
Ketidakterbandingan inilah komponen kunci pluralisme. Kita tidak bisa membandingkan apakah Islam lebih baik dari agama lain, apakah pemimpin Muslim pasti lebih adil dari non-Muslim, atau apakah aliran tertentu dalam Islam lebih mulia dari aliran lainnya.
Pluralisme Buya jauh dari faham monis utilitarian yang menilai kebenaran berdasarkan seberapa banyak orang menilainya sebagai kebenaran. Dalam Buya, kebenaran adalah kebenaran, tidak boleh dimonopoli, termasuk oleh kekuasaan atau ortodoksi keagamaan mayoritas.
Pluralisme Buya bukan hanya pluralisme kebebasan. Pluralisme ini penting karena mengajarkan penghormatan hak-hak individu untuk menjalankan agama dan keyakinan sesuai pilihan. Nilai toleransi dibutuhkan oleh masyarakat yang hidup dalam keberagaman agama, keyakinan, dan kemajemukan berbangsa, suku dan budaya.
Lebih dari itu, pluralisme Buya juga membawa arti distribusi keadilan. Pluralisme yang berbasis pada perlindungan hak-hak kaum tertindas dan hak-hak kolektif masyarakat untuk memperoleh keadilan dan kesejahteraan sosial.Dalam perspektif HAM, keduanya tak terpisahkan.
Dalam konteks perjuangan keadilan semasa transisi politik, pluralisme Buya tidak dibatasi oleh politik penghukuman atau politik pemaafan saja. Tapi menjangkau aspek-aspek ideologis dan sejarah yang mengandung pertentangan di dalamnya dalam kerangka pencarian kebenaran.
Itulah sebabnya Buya ikut bersuara menyikapi kekejian HAM warisan otoritarianisme. Jika negara diam, katanya, maka beban sejarah kejahatan HAM masa lalu akan selalu menghantui.
"Saya sudah di atas 80 tahun dan saya ingin bangsa ini berterus terang," kata Buya saat meminta negara serius menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu.
Sikap kritis Buya masih terdengar bahkan saat ia masuk kekuasaan--menjadi anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Ia menilai penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) adalah titik lemah pemerintahan Jokowi.
Buya menyebut kasus Munir Said Thalib, Fuad Muhammad Syafruddin (Udin), Marsinah, hingga Novel Baswedan. "Ini ada titik lemah, ada rantai lemah. Soal Munir, Udin, Marsinah, Novel tidak selesai.
"Pemerintah ndak boleh melupakan," katanya.
Ketika beredar tuduhan Munir anti Islam, Buya seperti 'mendeklarasikan' Munir sebagai duta universal Islam dalam pengantar sebuah buku terbitan KontraS pada 2005.
Saat mengetahui ada kerabatnya tersangkut kasus Munir, yang sempat membuatnya gamang, saya dan seorang sahabat Abusaid Pelu menyaksikan sikapnya berpihak pada korban.
Saat Novel dituduh 'taliban radikal anti Pancasila' di KPK, Buya menuduh balik mereka yang mengatakan itu adalah pengkhianat.
Kalangan aktivis HAM pernah mengusungnya untuk memimpin penyelidikan atas kekejaman rezim Orde Baru. Ada imajinasi peran agamawan dalam mengusut kejahatan masa lalu seperti peran uskup agung Desmond Tutu di Afrika Selatan. Pasti tidak mudah. Uskup Oscar Arnulfo Romero dibunuh setelah memimpin penyelidikan kekejaman rezim masa lalu El Salvador.
Pemikiran yang kritis, jernih dan jangkauan pengaruhnya yang luas, membuatnya layak untuk memimpin penyelesaian pelanggaran masa lalu. Ia pasti mengerti, agama melarang manusia membunuh dan memerintahkan manusia untuk berbuat adil.
Pluralisme Buya menjadi krusial karena kejahatan HAM masa lalu bekerja dalam kerangka pertentangan ideologis. Dengan pluralisme Buya, kita dapat melihat sejarah tidak hanya dari latar belakang ketegangan sub-kultur ideologis di balik tragedi kolosal kemanusiaan.
Tapi juga bagaimana dan mengapa ideologi menjadi dalih bagi pembantaian orang-orang tak bersalah atau penghakiman massal tanpa peradilan, dan bagaimana pula dalih ideologis itu dijadikan selubung pertarungan kuasa merebut akses ekonomi dan kekayaan nasional demi keuntungan segelintir hartawan.
Pelanggaran HAM masa lalu adalah cermin bagaimana sistem anti kemanusiaan bekerja di balik dalih ideologi, pembangunan atau kedaulatan, sekaligus menutupi penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan pengerukan kekayaan alam.
Pluralisme Buya diperlukan karena bukan hanya karena Indonesia terlalu majemuk. Tapi karena ada sekelompok manusia yang ditindas oleh kejahatan yang disembunyikan oleh kekuasaan.
Pertentangan ideologis akan selalu ada dan tak berkesudahan. Tugas kita bukanlah mengakhiri pertentangannya, tetapi membela keadilan dan mencari perjumpaannya berdasarkan unsur-unsur integratif, yakni keadilan--seplural apa pun makna keadilan itu.
Kaum nasionalis-kebangsaan boleh terus meyakini ideologinya. Demikian pula kaum Islamis- keagamaan dan komunis-kerakyatan. Tapi keyakinan ideologis tak boleh jadi dasar membunuh. Kebanggaan ideologis tak bisa menutupi keserakahan ekonomi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Pendekatan keadilan yang plural bukan hanya untuk keadilan itu sendiri, tapi menerangi sejarah yang kelam,menghadirkan keadilan bagi korbankekejaman,dan menerangi kecerdasan bangsa di masa depan.
Di titik inilah kita mewariskan kesederhanaan sosok, keluasan dan kejernihan cakrawala pikiran, serta jejak intelektual Buya. Meski yang dipilihnya adalah jalan sepi, ia tak pernah kesepian. Dan dari sebuah totalitas antara kata dan laku, Buya telah mewariskan kita sebuah keteladanan.
Selamat jalan, Sang Pluralis Pembela HAM.