
Banyak Kasus Mandek, KontraS Desak Jokowi Buat Pengadilan HAM di Papua

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) membentuk pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua.
Desakan itu menyusul penyelesaian tragedi Wasior Berdarah di Papua yang mandek selama 21 tahun. Kasus Pelanggaran HAM Berat yang terjadi pada 13 Juni 2001 silam itu belum juga naik ke penyidikan di Kejaksaan Agung sampai saat ini.
Padahal kasus penyerbuan Desa Wonoboi, Wasior, Manokwari, oleh aparat Brimob itu merupakan satu di antara beberapa kasus pelanggaran HAM di Papua yang terjadi setelah Undang-Undang RI tentang Pengadilan HAM terbit.
Wakil korrdinator KontraS menyebut hingga kini nasib para korban masih terkatung-katung tanpa adanya kepastian hukum.
Oleh sebab itu, pihaknya mendesak Presiden Joko Widodo agar memerintahkan Kejagung segera menindaklanjuti berkas penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM.
"Dan mendesak Presiden Jokowi membentuk pengadilan HAM di Papua," kata Rivan dalam keterangan tertulisnya, Senin (13/6).
Rivan menjelaskan Komnas HAM telah menyelesaikan dan menyerahkan hasil penyelidikan pro justitia nya kepada Jaksa Agung pada 2003. Namun, Kejagung belum juga menaikan kasus itu ke tahap penyidikan dengan alasan berkas belum lengkap, baik pada syarat formil maupun materiil.
"Lagi-lagi permasalahan klasik terjadi pada Jaksa Agung dengan alasan repetitifnya yang menyatakan belum terpenuhinya kelengkapan atau syarat-syarat suatu peristiwa dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan pelanggaran HAM berat," kata dia.
Padahal, lanjutnya, dalam Sidang Universal Periodic Review (UPR) PBB yang diadakan di Jenewa pada 3 Mei 2017, Pemerintah Indonesia menjanjikan bahwa Kejagung sedang mempersiapkan proses pengadilan di Pengadilan HAM di Makassar untuk memproses kasus Wasior-Wamena
Namun, tinggal hitungan bulan menjelang Sidang UPR pada akhir 2022 mendatang, kasus Wasior-Wamena masih stagnan. Kasus, kata Rivan belum terlihat sedikitpun progres bagi kasus ini untuk dibawa ke Pengadilan HAM sesuai dengan mandat UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
"Maupun UU Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua atau UU Otsus (UU No. 21/2001 yang telah direvisi melalui UU No. 2/2021)," lanjutnya.
Rivan menilai pemerintah juga ingkar pada amanat UU Otsus. Terhitung sejak belasan tahun lamanya sejak UU Otsus diberlakukan, baru satu amanat yang terealisasikan yakni adanya perwakilan Komnas HAM saja.
"KKR Papua belum juga dibentuk, begitu pula dengan realisasi Pengadilan HAM di tanah Papua yang sampai saat ini sama sekali tak terlihat di Pengadilan Negeri manapun di Papua," jelas dia.
Menurut Rivan, masalah itu jelas memperlihatkan ketidakseriusan Pemerintah yang selama ini hanya berhenti pada janji politik saja.
"Dan menjadikan penuntasan kasus pelanggaran HAM Berat di Papua sebagai alat diplomasi Pemerintah untuk meredam perhatian internasional terhadap situasi Papua," ucapnya.
Diketahui, dari tiga kasus pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki secara pro-justitia oleh Komnas HAM yang terjadi di Papua, baru satu kasus yang telah diadili pada 2004, yakni Paniai.
Sementara dua kasus lainnya masih mandek, yakni kasus Abepura (2000) dan Wasior-Wamena (2001 dan 2003).
Peristiwa Wasior Berdarah dipicu dari terbunuhnya 5 anggota Brimob dan 1 orang sipil di base camp perusahaan CV. Vatika Papuana Perkasa di Desa Wondiboi, Distrik Wasior pada 13 Juni 2001 silam.
Kemudian, sejumlah pasukan polisi diturunkan untuk mencari pelaku yang juga mengambil 6 pucuk senjata dari anggota Brimob yang tewas. Akibatnya, menurut Tim Ad Hoc Papua ada sebanyak 4 orang tewas, 39 orang mengalami penyiksaan, 1 orang diperkosa dan 5 diantaranya dihilangkan secara paksa.
(yla/rds)[Gambas:Video CNN]