Sistem tanam paksa Belanda atau cultuurstelsel merupakan aturan yang diterapkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch di masa penjajahan pemerintah kolonial pada 1830.
Sistem ini mewajibkan masyarakat Indonesia untuk memberikan tanah garapannya seluas seperlima atau 20 persen dari luas total untuk ditanami komoditas ekspor, seperti teh, kopi, dan kakao.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hasil panen tersebut wajib dijual ke pemerintah Belanda dengan harga yang sudah ditetapkan.
Jika ada masyarakat yang tidak punya tanah garapan, maka ia harus bekerja di kebun milik pemerintah Belanda selama seperlima tahun atau sekitar 66 hari. Hal ini sebagai 'pajak' karena tidak menyetor hasil panen kepada pemerintah kolonial.
![]() |
Pemerintah Belanda menetapkan aturan di sistem tanam paksa Belanda kepada masyarakat Indonesia. Berikut isinya:
Sayangnya, sistem tanam paksa Belanda itu rupanya dilanggar sendiri oleh pemerintah kolonial. Pada praktiknya, seluruh tanah garapan masyarakat rupanya harus ditanam komoditas ekspor.
Hasil panennya kemudian diserahkan ke pemerintah Belanda untuk mereka ekspor ke luar negeri, sehingga menguntungkan para penjajah. Sementara masyarakat yang tak punya tanah garapan, nyatanya harus bekerja setahun penuh di kebun milik pemerintah Belanda.
Para sejarawan menilai sistem tanam paksa Belanda merupakan aturan yang paling kejam dan menyiksa masyarakat. Bahkan, lebih dari sistem monopoli perusahaan Hindia Timur (Vereenigde Oostindische Compagnie/VOC).
Pasalnya, pada sistem monopoli VOC, pemerintah Belanda hanya mewajibkan masyarakat menjual komoditas tertentu kepada mereka.
Sedangkan sistem tanam paksa mewajibkan masyarakat menanam komoditas tertentu dan menjual seluruh hasilnya ke Belanda dengan harga yang sudah ditetapkan.
Artinya, tidak ada celah bagi masyarakat Indonesia untuk mendulang untung dari bisnis pertanian mereka dengan Belanda. Maka tak heran, Belanda justru mendapat pemasukan yang besar selama masa penjajahan di Nusantara.
Mirisnya, sistem tanam paksa Belanda ini justru membuat si penggagas, Johannes van den Bosch, mendapat penghargaan berupa gelar Graaf dari Raja Belanda pada 25 Desember 1839. Penghargaan diberikan karena ia membuat Belanda makmur.
Sistem tanam paksa Belanda berakhir di Indonesia pada 1870 setelah mendapat protes dari menteri jajahan Belanda Engelbertus de Waal. Politikus liberal yang saat itu berkuasa di Belanda menilai sistem tanam paksa merugikan masyarakat Indonesia.
Padahal, menurutnya, masyarakat layak mendapat keuntungan ekonomi dari tanah garapannya. Akhirnya, terbitlah Undang-Undang (UU) Agraria 1870.
Dengan UU Agraria ini, masyarakat yang punya tanah akan dicatatkan kepemilikannya. Hal ini memberi perlindungan kepada petani atas tanahnya dari penguasa dan pemodal asing.
Sementara tanah tak bertuan bisa disewakan. Penyewanya bisa dari masyarakat asing, seperti Inggris, Belgia, Amerika Serikat, Jepang, sampai China. Ini menjadi akhir dari sistem tanam paksa Belanda di Tanah Air.
(uli/fef)