Sejumlah aktivis membentangkan banner raksasa di tengah Danau Toba, Sumatera Utara pada Selasa (19/7), bertepatan dengan acara W20 Summit.
Banner raksasa berwarna kuning itu berisi tulisan: "North Sumatera Women Against Deforestation" atau 'Perempuan Sumutera Utara Lawan Deforestasi'.
Sebagai informasi, W20 merupakan grup keterlibatan G20 untuk mendorong pengadopsian komitmen negara-negara anggota G20 dalam isu perempuan. Pertemuan itu dihadiri 16 negara delegasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Sekar Banjaran Aji menyampaikan aksi pembentangan banner di perairan Danau Toba itu sebagai bentuk kritik bahwa pertemuan W20 seharusnya juga berkaca pada apa yang terjadi di hutan-hutan Sumatera Utara dan sekitarnya.
"Banyak masyarakat adat khususnya perempuan adat dan pedesaan terpaksa kehilangan ruang hidupnya akibat perampasan tanah dan hutan yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar, demi meraup keuntungan semata," kata Sekar.
Berdasarkan catatan pihaknya, perempuan-perempuan adat di Sumatra dan juga hampir seluruh wilayah Indonesia telah lama menjadi korban akibat ketimpangan struktural dan pembangunan eksploitatif yang tidak memperhatikan aspek gender.
Berbagai program pembangunan, kata dia telah menimbulkan konflik sosial dan kehancuran lingkungan hidup. Imbasnya, banyak hak perempuan yang dilanggar.
Sementara itu, Rocky Pasaribu dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat mengatakan walau Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) telah menyerahkan 4 SK Hutan Adat di Danau Toba pada awal Februari 2022, tetapi belum menjawab persoalan masyarakat adat di sana.
"Masih banyak konflik agraria yang belum diselesaikan dengan serius," kata Rocky.
"Atas nama pembangunan perampasan tanah terus terjadi. Selain perampasan tanah adat, kerusakan hutan dan lingkungan juga tidak serius ditangani," imbuhnya.
Apalagi, kata dia, pada pertengahan 2020, datang ancaman baru seiring lahirnya proyek pangan skala besar atau Food Estate. Pihaknya melihat proyek yang digadang-gadang sebagai program ketahanan pangan itu nyatanya malah menghilangkan budaya, pengalaman, dan pengetahuan perempuan dalam corak pertanian lokal.
"Mereka harus berpatokan pada sistem pasar yang ditentukan oleh pemerintah dan korporasi besar. Proyek ini, sama halnya dengan proyek pertanian sebelumnya, hanya akan melahirkan konflik baru," kata Rocky.
"Industrialisasi pangan yang mengenyampingkan masyarakat, serta monopolisasi lahan-lahan pertanian dengan skema yang tampak baik di permukaan saja," imbuhnya.
Mengutip dari Antara, ajang W20 digelar di Parapat, Kabupaten Simalungun. Kegiatan itu dibuka pada Selasa (19/7) oleh Menteri Pariwisata Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati.
Dua menteri itu didampingi Gubernur Sumut Edy Rahmayadi dan istrinya; Istri dari Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan, Devi; Pangdam I/BB Mayjen TNI Ahmad Daniel Chardin; Presiden Kowani Titien Pamudji; dan, Chair of W20 Indonesia Handrianus Uli Silalahi.
Uli mengatakan, pertemuan W20 menawarkan dan memiliki kesempatan penting dalam memastikan pemulihan ekonomi yang inklusif dengan menempatkan peran perempuan.
Isu penting Komunike yang disepakati W20 di Parapat akan disampaikan kepada Presiden Joko Widodo selaku presiden G20 untuk selanjutnya ditindak lanjuti dalam pertemuan G20 presidensi pada November 2022.