Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengungkapkan alasan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) peninggalan Belanda harus diganti.
Mahfud menjelaskan hukum adalah pelayan masyarakat, sehingga harus berubah sesuai kebutuhan masyarakat setempat.
"Jika masyarakat berubah, maka hukum harus berubah pula agar sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat yang dilayaninya," ujar Mahfud dalam acara 'Kick Off Sosialisasi RUU KUHP' di Hotel Ayana Midplaza Jakarta, Selasa (23/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, hal ini berdasarkan pada filsafat, sosiologi, serta ilmu politik hukum. Mahfud menegaskan hukum harus sesuai dengan ideologi, pandangan, serta kesadaran masyarakat setempat.
Karena itu, lanjut Mahfud, pemerintah ingin menghilangkan nuansa kolonial lewat revisi KUHP. Sebab, masyarakat Indonesia kini telah menjadi masyarakat merdeka.
"Itulah sebabnya politik hukum tentang perubahan KUHP itu menjadi salah satu perintah yang pertama pada hari pertama Undang-Undang Dasar (UUD) disahkan," imbuhnya.
Mahfud pun menyebut RKUHP telah siap diundangkan. Ia mengatakan RKUHP sudah dibahas dan dirancang sejak 59 tahun lalu.
"Saat ini kita sudah menghasilkan RKUHP yang relatif siap untuk segera diundangkan," kata Mahfud.
"Sudah selama 59 tahun kita terus membahas dan merancang RKUHP ini melalui tim yang silih berganti dan mendapat arahan politik hukum dari tujuh Presiden," imbuhnya.
Sementara itu, sebelumnya, sejumlah organisasi masyarakat sipil mendesak DPR kembali menggelar rapat untuk membahas RKUHP.
Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, meminta agar DPR membuka daftar inventarisasi masalah (DIM) baru RKUHP. ICJR menemukan ada 73 pasal bermasalah dalam RKUHP.
Sejumlah aturan dalam RKUHP dinilai mengancam demokrasi dan kebebasan warga sipil.
(pop/tsa)