Putri Tak Ditahan Jadi Polemik, ICJR Minta Pemerintah-DPR Revisi KUHAP
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) meminta pemerintah dan DPR merevisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) agar polemik penahanan seperti istri eks Kadiv Propam Irjen Pol Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, tidak terjadi lagi.
Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu mengatakan KUHAP sudah tidak lagi mendukung sistem peradilan pidana yang akuntabel, satu di antaranya dalam hukum tentang penahanan yang bisa sangat tidak konsisten diterapkan oleh aparat penegak hukum (APH) utamanya penyidik.
"Permasalahan penahanan PC [Putri Candrawathi] sekali lagi tanda pemerintah dan DPR harus segera revisi KUHAP," ujar Erasmus dalam keterangan tertulis, Jumat (2/9).
Ia menjelaskan bahwa penahanan memang bukan merupakan keharusan atau kewajiban. Penahanan bisa dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan, misalnya jika tersangka tidak ditahan kepentingan pemeriksaan akan terhambat.
Selain itu, lanjut Erasmus, untuk tersangka perempuan dengan kebutuhan spesifik berbasis gender harus dihindarkan dari penahanan. Hal itu berdasarkan pertimbangan hak asasi manusia (HAM).
"Namun, memang dalam kerangka hukum KUHAP saat ini banyak sekali permasalahan dalam hukum penahanan," kata dia.
Permasalahan itu antara lain, pertama, keputusan untuk menahan dalam ketentuan Pasal 21 KUHAP hanya digantungkan oleh APH dalam hal ini penyidik.
Padahal, sistem seperti ini merupakan masalah yang membuat sistem peradilan pidana di Indonesia tidak akuntabel.
Erasmus menerangkan Pasal 9 ICCPR menjelaskan bahwa orang yang ditahan harus segera dihadapkan kepada hakim atau pejabat lain yang diberi wewenang oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan kehakiman.
Otoritas ini dinilai menawarkan jaminan yang diperlukan untuk independensi dari eksekutif dan para pihak yang terlibat dalam penahanan.
"Sehingga, KUHAP harus direvisi memastikan adanya peran hakim pemeriksa pendahuluan yang bertugas salah satunya menguji kebutuhan untuk menahan/tidak secara akuntabel, tidak hanya pertimbangan penyidik semata," tutur Erasmus.
Permasalahan kedua, KUHAP tidak memberikan kewajiban APH untuk menguraikan secara objektif terpenuhinya syarat-syarat agar tersangka dapat dilakukan penahanan.
Menurut putusan pengadilan HAM Eropa Piruzyan v. Armenia, para 99-100, alasan penahanan tidak dapat dijelaskan hanya dengan narasi yang abstrak, yang berbasis stereotipe ataupun alasan yang diulang-ulang.
Erasmus berujar perlu ada pertimbangan kasus per kasus yang kuat tentang alasan mengapa seseorang akan melarikan diri ataupun menghalangi penyidikan.
"Hal ini tidak terjadi dalam praktik di Indonesia, jika kita lihat surat perintah penahanan, maka uraian alasan penahanan tidak pernah dijabarkan secara rinci dan kasuistis, hanya narasi copy paste yang diulang-ulang," ucap dia.
"Dengan sistem tanpa hakim pemeriksa seperti saat ini, penyidik tidak terbiasa menguraikan alasan penahanan secara akuntabel," imbuhnya.
Permasalahan ketiga yakni KUHAP tidak mengakomodasi pertimbangan HAM dan gender dalam rumusannya. Erasmus berpendapat seharusnya terdapat penegakan dalam KUHAP bahwa otoritas yang melakukan penahanan harus terlepas dari APH sehingga penahanan di kepolisian dan kejaksaan harus dihapuskan.
"Harus ada penekanan bahwa yang didahulukan adalah penahanan non-rutan, yang justru tidak diefektifkan di Indonesia, dan juga untuk tersangka/terdakwa dengan kerentanan tertentu misalnya ibu, perempuan hamil, lansia harus dipertimbangkan untuk dihindarkan penahanan rutan," pungkas Erasmus.
Keputusan polisi untuk tidak menahan Putri Candrawathi yang merupakan tersangka kasus dugaan pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J dengan alasan kemanusiaan menuai polemik.
Pasalnya, langkah kepolisian tersebut tidak konsisten di mana sebelumnya banyak tersangka perempuan ditahan dengan membawa anaknya ke tempat penahanan.
(ryn/isn)