Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengingatkan pemerintah dan masyarakat bahwa fenomena banjir yang terjadi di wilayah DKI Jakarta sudah tidak bisa dianggap lagi sebagai banjir kiriman dari hulu.
Plt Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari mengatakan hujan lokal dengan intensitas tinggi sudah bisa membuat Ibu Kota banjir. Menurutnya hal disebabkan masalah pada teknis saluran pembuangan air atau drainase.
"Kita harus ingat bahwa banjir di Jakarta bukan lagi banjir tradisional yang dulu kita selalu dengar ini banjir kiriman, sekarang sudah tidak seperti itu," kata Abdul dalam acara daring yang disiarkan melalui kanal YouTube BNPB Indonesia, Senin (10/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Abdul mencontohkan banjir yang tidak disebabkan banjir kiriman di Jakarta, seperti banjir di kawasan Latuharhari pada 2013 hingga banjir di wilayah Halim pada 2020 lalu. Menurutnya, banjir tersebut tidak ada hubungannya dengan kondisi di daerah hulu.
Kendati demikian, ia menyebut banjir di Ibu Kota di sepanjang Sungai Ciliwung yang terjadi dalam rentang waktu sepekan terakhir terjadi akibat peningkatan debit air dari hulu. Abdul lalu merinci selama periode 3-9 Oktober, wilayah Jabodetabek dilanda tujuh kejadian bencana banjir.
Paling menjadi sorotan, banjir di Jakarta Selatan yang mengakibatkan tiga jiwa meninggal dan empat orang luka-luka. Sementara banjir di Kota Tangerang Selatan merendam 1.507 rumah dan 13.795 jiwa di antaranya terdampak dan harus mengungsi.
"Jabodetabek sebagai suatu kawasan mungkin sudah bukan metropolitan tapi megapolitan dengan urbanisasi yang begitu cepat dinamikanya. Kita memang harus membuat revolusi atau perubahan signifikan dalam konteks drainase dan infrastruktur keairan kita," kata dia.
Abdul juga menyampaikan Kabupaten Bogor di Jawa Barat menjadi daerah dengan frekuensi bencana hidrometeorologi paling tinggi di Indonesia. Dalam rentang 2012-2022 misalnya, Kabupaten Bogor mengalami 181 kejadian bencana banjir.
"Kabupaten Bogor ini adalah kabupaten dengan frekuensi kejadian bencana hidrometeorologi paling tinggi di Indonesia ya, tidak hanya di Jabodetabek. Frekuensi kejadian banjir di Kabupaten Bogor itu benar-benar agak luar biasa, lebih dari dua kali lipat dari kabupaten/kota lainnya," katanya.
Lebih lanjut, Abdul juga mengakui bencana hidrometeorologi yang terjadi di Indonesia dalam rentang waktu 3-9 Oktober 2022 merupakan rekor bencana alam yang terjadi dalam waktu sepekan.
Dalam sepekan terakhir terjadi 70 bencana di 18 provinsi atau 58 kabupaten/kota di Indonesia yang memakan 10 jiwa, seorang masih hilang, dan 151.156 orang terdampak dan mengungsi.
Dengan demikian, Abdul meminta agar para pemimpin daerah agar segera melakukan apel kesiapsiagaan untuk menghadapi potensi bencana akibat cuaca ekstrem. BNPB juga meminta agar pemerintah daerah menetapkan status siaga darurat maupun status tanggap darurat sesuai kategori keparahan bencana.
"Dan bagi masyarakat, kita memang harus membiasakan diri untuk melihat prakiraan cuaca, sehingga kita bisa mengestimasi minimal untuk diri kita sendiri," ujar Abdul.
(khr/tsa)