Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjelaskan bahwa kasus dugaan korupsi termasuk yang menjerat Gubernur Papua Lukas Enembe tak bisa diselesaikan lewat hukum adat. KPK menegaskan bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa.
Hal itu disampaikan KPK merespons permintaan tim penasihat hukum Lukas yang menginginkan kasus dugaan korupsi kliennya diselesaikan secara adat.
"Sejauh ini betul bahwa eksistensi seluruh hukum adat di Indonesia diakui keberadaannya. Namun, untuk kejahatan terlebih korupsi, maka baik hukum acara formil maupun materiil tentu mempergunakan hukum positif yang berlaku secara nasional," ujar Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri, Selasa (11/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Perihal apabila hukum adat kemudian juga akan memberikan sanksi moral atau adat kepada pelaku tindak kejahatan, hal tersebut tentu tidak berpengaruh pada proses penegakan hukum positif sesuai UU yang berlaku," sambung Ali.
Juru bicara berlatar belakang jaksa ini menyayangkan sikap tim penasihat hukum Lukas yang tidak memberikan nasihat-nasihat secara profesional kepada kliennya.
"Kami meyakini para tokoh masyarakat Papua tetap teguh menjaga nilai-nilai luhur adat yang diyakininya, termasuk nilai kejujuran dan antikorupsi. Sehingga tentunya juga mendukung penuh upaya pemberantasan korupsi di Papua," tutur Ali.
"Kami khawatir statement yang kontraproduktif tersebut justru dapat mencederai nilai-nilai luhur masyarakat Papua itu sendiri," pungkasnya.
Sebelumnya, penasihat hukum Lukas, Aloysius Renwarin, mengklaim warga Papua meminta kasus dugaan korupsi kliennya diusut lewat hukum adat. Alasannya, Lukas merupakan kepala suku besar di Papua.
"Masyarakat Papua mau selesaikan secara hukum adat Papua," kata Aloysius di Gedung Dwiwarna KPK, Jakarta, Senin (10/10).
Lukas harus berhadapan dengan hukum karena diduga terlibat dalam tindak pidana suap dan gratifikasi terkait pekerjaan atau proyek yang bersumber dari APBD Provinsi Papua.
Lukas belum berhasil diperiksa KPK lantaran mengaku masih menderita sakit. Selain itu, kediaman pribadi Lukas di Jayapura masih terus dijaga oleh simpatisan.
KPK hingga saat ini terus berkoordinasi dengan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Papua untuk bisa memeriksa Lukas.
Adapun Lukas telah dicegah bepergian ke luar negeri selama enam bulan terhitung sejak 7 September 2022 hingga 7 Maret 2023. Rekening Lukas dan istrinya pun sudah diblokir.
(ryn/ain)