Rumah artis Wanda Hamidah sempat viral usai ricuh karena dikosongkan secara paksa oleh Pemerintah Kota Jakarta Pusat, Satpol PP, hingga kepolisian, Kamis (13/10). Peristiwa itu terekam dalam sebuah video yang diunggah di akun Instagram milik Wanda, @wanda_hamidah.
Dalam unggahannya, Wanda mohon perlindungan hukum dari Presiden Joko Widodo hingga Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Wanda pun menjelaskan kronologi pengosongan rumah milik pamannya, Hamid Husen itu.
Wanda mengatakan Hamid merupakan ahli waris dari Almarhum Idrus Abubakar yang wafat pada bulan Mei 2012. Menurut dia Almarhum Idrus Abubakar telah menempati rumah di Jalan Citandui Nomor 2, Cikini, Jakarta Pusat sejak 1962 yang dilanjutkan oleh Hamid.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menambahkan Wali Kota Jakarta Pusat cq Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah memberikan Surat Peringatan (SP) kepada Hamid berturut-turut mulai dari 22 September, 30 September, dan 7 Oktober.
"Yang pada pokoknya memerintahkan Hamid Husen melakukan pengosongan rumah yang ditempati," ujar Wanda dalam keterangan tertulis.
Wanda mengatakan pengosongan tersebut berdasarkan keterangan yang menyebutkan tanah tersebut dimiliki oleh Ketua Pemuda Pancasila (PP) Japto S. Soerjasoemarno sebagaimana sertifikat HGB Nomor 1000 Cikini dan Sertifikat HGB Nomor 1001 Cikini.
Wanda menjelaskan Hamid telah menyampaikan keberatan secara patut tertanggal 6 dan 7 Oktober 2022. Namun, alih-alih mendengarkan, Pemkot Jakpus maupun Pemprov DKI justru menerbitkan peringatan terakhir pada 10 Oktober 2022 untuk melakukan pengosongan rumah dalam waktu 1x24 jam.
Politikus Partai NasDem itu mengklaim putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap atau inkrah menjadi dasar hukum Hamid selaku ahli waris dari Almarhum Idrus Abubakar membuktikan dan mempertahankan haknya atas rumah tersebut.
Putusan yang dimaksud yakni Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Nomor: 096/G/1992/Pr/PTUN.Jkt tanggal 20 Oktober 1992 dan Putusan Nomor: 044/G/1992/Pr/PTUN.Jkt tertanggal 2 Septemebr 1992. Selain itu putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 395/Pdt.G/2013/PN.JKT.PST.
Wanda mengatakan pada Rabu (12/10) Hamid juga telah mengajukan gugatan ke PTUN terhadap PTUN Jakarta Pusat. Namun, Pemkot Jakpus maupun Pemprov DKI Jakarta tetap melakukan pengosongan rumah secara paksa.
"Kami mengecam keras tindakan Wali Kota Jakarta Pusat cq Pemprov DKI selaku badan eksekutif yang melakukan pengosongan secara paksa terhadap Bapak Hamid Husen tanpa melalui kewenangan yudikatif yang didasarkan kepada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam ranah privat," ujar Wanda.
"Sebagai suatu bentuk abuse of power dan kesewenang-wenangan Pemprov DKI terhadap warganya," imbuhnya.
Wanda juga menegaskan pihak keluarga tidak menerima dan menolak pengosongan rumah. Mereka menilai hal ini sebagai suatu bentuk pemaksaan dan akan melakukan perlawanan lewat jalur hukum.
Sementara itu, Pemkot Jakarta Pusat mengungkapkan pengosongan rumah Wanda disebabkan tidak ada Surat Izin Penghunian (SIP) sudah habis sejak tahun 2012.
Kabag Hukum Pemkot Jakarta Pusat Ani Suryani menjelaskan bahwa pemilik lahan seluas 1.400 meter persegi ini atas nama Japto Soerjosoemarno. Di atas lahan ini pun berdiri 4 rumah yang salah satunya ditempati oleh Wanda Hamidah. Dikutip dari Detik, nama tersebut mengacu kepada sosok Japto yang juga merupakan Ketua Majelis Pimpinan Nasional (MPN) Pemuda Pancasila.
Ani mengungkapkan Japto memiliki Surat Hak Guna Bangunan (SHGB) sejak tahun 2012. Meskipun, rumah ini merupakan aset negara.
"Tanah negara ini kan bebas, siapa saja boleh meningkatkannya. Nah ini penghuni di sini tidak melakukan itu. Sehingga pada 2010, Pak Japto membeli ini. Awalnya punya SHGB itu, kemudian dibeli oleh beliau kemudian diterbitkan, karena ini tanah negara. Yang [punya] SIP ini dia [Wanda], tetapi sebagai penghuni, dan SIP sudah mati sejak tahun 2012," jelas Ani di Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (13/10).
Japto diklaim sempat membiarkan Wanda tinggal selama 10 tahun sembari berusaha melakukan mediasi. Japto juga sempat mengirim somasi kepada penghuni rumah itu sebanyak tiga kali. Sementara itu, Japto berhasil menempati 200 meter dari lahan itu sebagai kantor.
"Tapi karena penghuni di sini tidak bisa dimediasi, ya sudah dibiarkan saja. Sampe 10 tahun lebih, maka somasi itu berjalan," ucap pengacara Japto, Ardi Simanjuntak.
Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Komarudin juga mengaku peristiwa itu merupakan upaya penertiban yang dilakukan oleh Pemkot Jakpus terhadap tanah yang merupakan aset pemerintah daerah. Pemilik rumah, lanjutnya, hanya memiliki Surat Izin Penghunian (SIP).
"Pemilik lama itu dia hanya memegang SIP, surat izin penghunian mulai dari kalau enggak salah dari tahun 1979 terus kemudian ada penertiban-penertiban rumah-rumah yang hanya menggunakan SIP," ucapnya.