Sejumlah aktivis lingkungan menyoroti kebijakan pembangunan di Bali yang berdampak pada bencana banjir dan longsor di sejumlah titik Pulau Dewata itu.
Koordinator Komite Kerja Advokasi Lingkungan (Kekal) I Made Juli Untung Pratama, banjir dan tanah longsor yang terjadi di Bali akibat dari rusaknya lingkungan hidup dikarenakan tidak adanya kebijakan Pemerintah Bali yang bertujuan untuk menyelamatkan lingkungan.
"Kejadian tersebut terjadi akibat rusaknya lingkungan hidup," kata dia dalam keterangan tertulis, Jumat (21/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alih-alih memperbaiki tatanan lingkungan hidup, pemerintah malah membangun proyek-proyek yang merusak alam seperti Pembangunan Pusat Kebudayaan Bali, di Kabupaten Klungkung yang berada di kawasan rawan bencana.
Selain itu membangun Jalan Tol Gilimanuk-Mengwi yang akan menerabas sawah dan hutan serta adanya rencana pembangunan Terminal LNG di kawasan mangrove dan pesisir Sanur yang justru menambah dari deretan proyek yang meningkatkan alih fungsi lahan dan buruknya mitigasi bencana di Bali.
"Hilangnya enam nyawa atas bencana banjir dan tanah longsor merupakan akibat dari kebijakan Pemerintah Bali yang abai terhadap perlindungan dan pelestarian lingkungan sehingga terjadinya bencana lingkungan," ungkapnya.
Sementara itu, Anak Agung Gede Surya Sentana dari Frontier Bali menilai kejadian banjir di Kabupaten Jembrana, Bali, yang sempat memutus akses jembatan bukan semata-mata karena cuaca ekstrem saja. Namun, imbas kerusakan lingkungan hidup.
"Adanya banjir di Jembrana sampai memutus akses jalan, dimana terdapat kayu-kayu besar yang berserakan menandakan bahwa keadaan hutan di Bali tak baik-baik saja," ujarnya.
Finance Campaigner 350 Indonesia, Suriadi Darmoko menyoroti alih fungsi lahan di Bali. Menurutnya, banjir bandang yang hari ini terjadi merupakan imbas dari kebijakan yang merusak lingkungan dan pemanfaatan ruang yang tidak terkendali.
Di sisi lain, Melisa Kowara dari Extinction Rebellion mengatakan para pemangku kebijakan dalam G20 belum juga memprioritaskan keselamatan dan kehidupan masyarakat yang memperburuk situasi krisis iklim.
"Seperti pengembangan Gas LNG dan bahkan green washing seperti CCUS, cofiring technology dan gasifikasi batubara yang tidak hanya memperburuk situasi, meningkatkan emisi tapi juga mengambil jatah dana yang seharusnya bisa digunakan untuk solusi sebenarnya" jelasnya.
Lihat Juga : |
Made Krisna Dinata, Direktur Walhi Bali menyampaikan di tengah persiapan venue G20, wajah Bali dipoles sedemikian rupa, seolah-olah selaras dengan prinsip perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup dengan menampilkan mangrove sebagai showcase.
Hal itu justru berbanding terbalik dengan fakta yang terjadi, dimana mangrove terancam akibat proyek terminal LNG yang tentunya akan berakibat buruk bagi mitigasi bencana Bali.
"Kami mendesak Pemerintah Propinsi Bali agar segera menghentikan proyek-proyek yang berpotensi membawa Bali ke arah ancaman serius bencana lingkungan," ujarnya.