Rapat Paripurna DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengesahan Perjanjian antara Pemerintah RI dan Pemerintah Republik Singapura tentang Kerja Sama Pertahanan atau Defence Cooperation Agreement (DCA), menjadi undang-undang, Selasa (6/12).
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Gerindra Sugiono berharap dengan pengesahan itu kedua negara dapat secara penuh menjaga kedaulatan masing-masing.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sugiono mengatakan masing-masing negara dapat menyerap pengalaman sekaligus pengetahuan, terutama bidang teknologi pertahanan.
"Politik luar negeri Indonesia dilaksanakan melalui diplomasi yang kreatif, aktif, dan antisipatif, teguh dalam prinsip dan pendirian, serta rasional dan luwes. Wujud dari diplomasi pertahanan adalah terjalinnya kerja sama di bidang pertahanan dengan negara-negara sahabat, salah satunya dengan Pemerintah Republik Singapura," kata Sugiono dikutip dari website resmi DPR.
Sementara itu, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mengatakan pengesahan RUU kerja sama pertahanan dengan Singapura menjadi UU ini dapat memperkuat hubungan bilateral kedua negara.
"Dengan disetujuinya RUU ini menjadi UU oleh DPR RI maka terbentuklah payung hukum kerja sama di bidang pertahanan antara Republik Indonesia dengan Republik Singapura," kata Prabowo.
Guru besar bidang hukum internasional Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) Atip Latipulhayat menyatakan naskah Perjanjian Kerjasama Pertahanan Indonesia-Singapura yang disahkan baru-baru ini merupakan copy paste dari DCA pada 2007 yang sudah ditolak oleh DPR.
"DPR menolak (waktu itu), dua alasan. Satu membahayakan integritas kedaulatan wilayah kita, juga kedua membahayakan keamanan," kata Atip saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (8/12).
Atip mengatakan Singapura jelas mendapat untung dengan perjanjian itu.
Salah satu isi perjanjian berbunyi "secara bersama-sama atau masing-masing melaksanakan latihan dan pelatihan, operasi bersama serta dukungan logistik antara kedua angkatan bersenjata Para Pihak, termasuk akses bersama pada wilayah latihan dan fasilitas di bagian tertentu wilayah dari Para Pihak untuk kegiatan tersebut."
Ia menyebut frase "wilayah dari para pihak" dalam perjanjian itu tampak adil, tapi sebenarnya mengecoh karena Singapura memiliki keterbatasan geografis untuk latihan militer
"Pertanyaannya, wilayah mana dari Singapura yang dapat digunakan untuk latihan militer para pihak (Indonesia dan Singapura)," ujarnya.
Atip juga menyoroti soal perjanjian yang akan berlaku selama 25 tahun.
"Singapura udah jelas dia dapat keuntungan. Memiliki wilayah untuk latihan, wilayah yang ada di kita, kemudian dengan durasi yang cukup panjang 25 tahun, sementara bagi Indonesia baru keutungan yang diharapkan," katanya.
"Dari kerjasama akan dapat ini, akan dapat ini, ini kan baru diharapkan. Makanya saya bahasanya, Indonesia itu masih mengharapkan ada keuntungan, tapi Singapura udah konkrit," ujarnya menambahkan.
Ia menduga mulusnya pengesahan DCA pada kali ini lantaran adanya barter. Pada awal tahun ini, perjanjian pertahanan dengan Singapura disepakati satu paket dengan dua perjanjian lain, yaitu terkait ekstradisi buron dan kesepakatan pengelolaan ruang udara (flight information region/FIR).
"Indonesia kan mau ambil alih FIR itu , nah Singapura seoalah-olah ini jadi barter gitu. Oke Indonesia kelola FIR, tapi kami minta agar dapat tempat latihan, dimajukan lagi DCA itu," katanya.
(yoa/fra)