Argumentasi Kader PDIP & NasDem Minta MK Restui Sistem Tertutup Pemilu

CNN Indonesia
Jumat, 30 Des 2022 10:03 WIB
Kader PDIP dan NasDem menjadi pihak yang mengajukan gugatan terhadap pasal yang mengatur sistem proporsional terbuka ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Mahkamah Konstitusi (MK) masih menggelar sidang gugatan UU Pemilu terkait aturan tentang sistem proporsional terbuka. Ilustrasi (ANTARA/RENO ESNIR)
Jakarta, CNN Indonesia --

Gugatan terhadap sejumlah Pasal dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), termasuk soal sistem proporsional terbuka, telah bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK). Dua kader partai politik dan empat perseorangan warga negara menjadi pemohon dalam uji materi ini.

Pemohon perkara nomor: 114/PUU-XX/2022 terdiri dari Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP cabang Banyuwangi); Yuwono Pintadi (anggota Partai NasDem); Fahrurrozi (Bacaleg 2024); Ibnu Rachman Jaya (warga Jagakarsa, Jakarta Selatan); Riyanto (warga Pekalongan); dan Nono Marijono (warga Depok). Mereka menggandeng pengacara dari kantor hukum Din Law Group sebagai kuasa.

Para pemohon menguji materi Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), serta Pasal 426 ayat (3) UU Pemilu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu berbunyi: "Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka."

"Menyatakan frasa 'terbuka' pada Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," ujar para pemohon dalam salinan gugatan yang dikutip dari laman MK.

"Adanya frasa proporsional terbuka, nomor urut, nama calon dan calon terpilih berdasarkan perolehan suara terbanyak menunjukkan kekuatan perseorangan dalam proses Pemilu," lanjutnya.

Para pemohon menyatakan norma-norma hukum dalam Pasal yang dilakukan uji materi tersebut mengatur begitu besar peranan individu dalam Pemilu, padahal mereka menggunakan mesin partai politik dalam prosesnya.

Kekuatan dan pengaruh individu dalam proses Pemilu yang begitu besar dinilai cenderung mengarah pada populisme semata yang membahayakan bentuk negara dalam hal ini negara kesatuan.

Hal itu terlihat pada Pemilu 2019 di mana polarisasi masyarakat dan penggalangan massa oleh individu populis telah mengoyak rasa persatuan dan kesatuan masyarakat.

"Hal ini bisa terjadi karena orang-orang memiliki hasrat untuk menjadi populer yang demi menggalang dukungan tanpa melalui seleksi dan kaderisasi terlebih dahulu melalui sistem yang demokratis dan taat konstitusi dalam setiap langkahnya," kata para pemohon.

Kuasa hukum para pemohon, Sururudin mengatakan pasal-pasal tersebut telah menimbulkan individualisme para politisi yang berakibat pada konflik internal dan kanibalisme di internal partai politik yang bersangkutan.

Menurutnya, sistem proporsional terbuka melahirkan liberalisme politik atau persaingan bebas dengan menempatkan kemenangan individu total dalam Pemilu. Padahal, peserta Pemilu adalah partai politik bukan individu seperti yang termaktub dalam Pasal 22E ayat 3 UUD 1945.

"Sistem Pemilu proporsional berbasis suara terbanyak akan melemahkan pelembagaan sistem kepartaian," ujar Sururudin dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra, Rabu, 23 November lalu.

Di samping itu, sistem proporsional terbuka dengan penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak juga memakan biaya mahal dari APBN, misalnya membiayai percetakan surat suara untuk Pemilu anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota.

"Dengan mengacu pada alasan-alasan yang kami terangkan di atas, memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ucap Sururudin.

Hakim Konstitusi Saldi Isra meminta para pemohon membuat bangunan argumentasi tentang ketiadaan sistem Pemilu yang tidak dijabarkan dalam konstitusi sehingga bisa melahirkan kebijakan hukum terbuka. Para pemohon juga diminta untuk menjabarkan alasan soal sistem proporsional terbuka dan tertutup tersebut sehingga MK merasa perlu untuk memutuskannya.

"Carikan bangunan argumentasi untung-rugi proporsional terbuka dan tertutup ini untuk melihat implikasinya," kata Saldi.

(ryn/fra)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER