Penasihat hukum mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo, Arman Hanis, menyatakan kliennya telah mempertimbangkan dengan cermat serta memperhatikan ruang hukum untuk memperoleh keadilan.
Arman menjelaskan langkah hukum Sambo yang menggugat Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Kapolri Listyo Sigit Prabowo ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta lantaran tidak diterima dipecat dari Polri.
Dia berujar tindakan tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aturan itu berbunyi:"Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi."
"Ada ruang yang disediakan oleh negara ini untuk melakukan upaya hukum dalam memastikan hak setiap warga negara untuk memperoleh keadilan, tanpa memandang siapa dan dari golongan apa dia berasal," kata Arman melalui pesan tertulis, Jumat (30/12).
Arman menuturkan setidaknya terdapat tiga aspek teknis yang diharapkan bisa menjadi pertimbangan hakim dalam mengkaji gugatan tersebut.
Pertama mengenai prestasi Sambo selama menjadi anggota Polri. Menurut Arman, Sambo telah dengan cakap melaksanakan tugas, wewenang dan kewajiban sebagai anggota Polri. Bahkan, Sambo disebut telah menerima sekitar 11 tanda kehormatan dari pimpinan Polri.
Kemudian, pada 22 Agustus 2022, demi mendukung proses penyidikan dan sebelum keluar putusan sidang etik, Sambo telah menyampaikan surat pengunduran diri sebagai anggota Polri yang ditujukan kepada Listyo.
Namun, permohonan tersebut tidak diproses dan dipertimbangkan oleh para pihak terkait.
Padahal, terang Arman, hak pengunduran diri kliennya telah diatur dalam Pasal 111 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan b Perpol Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Profesi Polri (KKEP).
Lihat Juga : |
Aturan itu menyatakan terhadap terduga pelanggar kode etik dan profesi yang diancam dengan sanksi PTDH diberikan kesempatan untuk mengajukan pengunduran diri dari dinas Polri atas dasar pertimbangan tertentu sebelum pelaksanaan sidang KKEP.
Pertimbangan tertentu yang dimaksud meliputi masa dinas paling sedikit 20 tahun dan mempunyai prestasi, kinerja yang baik, serta berjasa kepada Polri, bangsa dan negara sebelum melakukan pelanggaran.
"Tiga butir penjelasan di atas adalah cuplikan beberapa pertimbangan yang kami ajukan di samping beberapa hal lain yang kami elaborasi secara lengkap dalam dokumen yang kami serahkan ke PTUN," kata Arman.
Dia mafhum bahwa Sambo saat ini sedang berhadapan dengan proses hukum yang sangat berat. Namun, dia berharap negara dapat memperhatikan pengabdian dan jasa-jasa kliennya selama menjadi anggota Polri.
"Gugatan ini mohon dapat dilihat sebagai cara untuk memperoleh jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang diamanatkan pada konstitusi kita Pasal 28 D dan berlaku bagi setiap warga negara tanpa terkecuali," terang Arman.
Sambo menggugat Jokowi dan Listyo ke PTUN Jakarta pada Kamis (29/12). Gugatan itu telah teregister dengan nomor perkara:476/G/2022/PTUN.JKT.
Dalam permohonannya, Sambo meminta PTUN Jakarta menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Jokowi (tergugat I) sebagaimana Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 71/POLRI/Tahun 2022 tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Perwira Tinggi Polri tanggal 26 September 2022.
PTUN Jakarta juga diminta memerintahkan Listyo (tergugat II) untuk menempatkan dan memulihkan kembali semua hak-hak Sambo sebagai Anggota Kepolisian Republik Indonesia.
Sambo dipecat dari Polri imbas kasus dugaan pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J. Dia saat ini tengah diadili atas kasus tersebut dan dugaan perintangan penyidikan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
(ryn/pmg)