Pidato Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dalam HUT PDIP ke-50 dinilai memberikan pesan-pesan politik yang kuat, padat, dan bermakna mendalam bagi penguatan kualitas politik demokrasi di Indonesia.
Dosen ilmu politik Universitas Airlangga (Unair), Airlangga Pribadi menilai, pesan yang berakar mendalam pada tradisi politik progresif para pendiri bangsa yang terutama digariskan oleh Sukarno. Menurutnya, Megawati memberi pesan bahwa partai politik bukan sekadar mobil rental bagi kadernya menapaki kursi eksekutif maupun legislatif.
"Pesan utamanya kalau ditafsirkan bahwa partai politik bukan sekadar mobil rental bagi calon eksekutif maupun legislatif untuk menapak pada kursi kekuasaan," ujar Airlangga, Jumat (13/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Namun partai adalah penyambung lidah rakyat Indonesia atau partai seharusnya memiliki bonding atau ikatan yang kuat dengan rakyat," tambah Airlangga.
Karena itu dengan bahasa merakyat seperti dijelaskan oleh Megawati bahwa kalau salaman sudah sejiwa maka tidak terasa anyep. Sebagai manifestasi dari menyatunya interaksi rakyat dengan partai, maka partai memiliki tanggungjawab untuk mendampingi, memberi masukan, mengontrol bahkan memberikan koreksi dan teguran kepada kadernya.
Pesan penting yang juga dikemukakan oleh Megawati, lanjut Airlangga, bahwa partai adalah organisasi politik yang memiliki tujuan kolektif untuk menciptakan pemimpin organik. Terutama dalam koneksi antara kebijakan pemerintah-garis ideologi-partai politik-aspirasi rakyat yang koheren dan tidak terputus.
"Oleh karena itu kita bisa melihat ilustrasinya dalam pidato Megawati dengan bahasa sederhana dan merakyat," ujarnya.
Airlangga menyebut, Megawati menceritakan kembali tentang pentingnya membangun solidaritas dalam fase-fase awal perjuangan melawan otoritarianisme Soeharto. Ini dilakukan Megawati untuk mengingatkan kembali bahwa perjuangan yang diikat oleh organ politik partai dan aspirasi rakyat harus berpijak pada disiplin politik, pondasi ideologi kerakyatan dan komitmen kekuasaan untuk menjaganya.
Airlangga juga menyinggung perihal Megawati mengingatkan Presiden Joko Widodo untuk konsisten dengan dua periode. Menurutnya, Megawati telah memperlihatkan perhatian tulusnya kepada Jokowi bahwa pembatasan kekuasaan sebagai substansi demokrasi harus dipegang teguh.
"Saya justru melihat inilah salah satu elemen kuat dalam pidato Megawati. karena Jokowi adalah bagian dari PDI Perjuangan. Pemimpin Republik Indonesia yang lahir dari kawah candradimuka politik partai ini," sebutnya.
Hal penting lainnya dalam pidato Megawati, lanjut Airlangga, adalah penekanan atas politik emansipasi kesetaraan laki-laki dan perempuan yang seharusnya menjadi lebih maju dalam demokrasi Indonesia.
Kata Airlangga, Megawati mengungkapkan hal itu dengan mengutip buku Sukarno berjudul Sarinah, serta menyebutkan perempuan-perempuan pahlawan pendahulu mulai dari Cut Nyak Dhien, Laksamana Malahayati sampai ibu Supeni duta besar keliling Indonesia yang dilantik oleh Bung Karno.
Menurut Airlangga, pesan-pesan politik progresif Megawati tersebut terasa asing di benak awam saat ini. Ketika politik lebih didominasi oleh hegemoni semangat individualisme, corak politik mengambang yang melihat tidak ada koneksi antara politik kekuasaan dan partai sebagai organ kolektif.
"Sehingga tidak heran apabila pandangan-pandangan yang muncul atas pidato tersebutlah yang sebetulnya dangkal dan tidak memahami tradisi politik ideologis yang menjadi bagian dari kehidupan politik di Indonesia dalam masa keemasan politiknya," katanya.
"Untung saja pada momen 50 tahun ultah PDI Perjuangan Ketua Umumnya Megawati maju ke gelanggang narasi politik yang bernas. Meskipun resikonya isi pidatonya disalahpahami," pungkas Airlangga.
(osc)