
Mahfud soal Skor Korupsi Anjlok: Orang Kadang Salahkan Eksekutif Saja

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan upaya penegakan hukum oleh pemerintah di Indonesia meningkat di saat Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2022 berada di skor 34, atau terburuk sejak reformasi 1998.
Mahfud mengatakan angka indeks korupsi Indonesia pada tahun sebelumnya biasanya cenderung alami kenaikan. Namun, tiba-tiba pada 2022 justru mengalami penurunan drastis. Dia mensinyalir, capaian ini dimungkinkan buntut praktik korupsi yang kian banyak terungkap lewat Operasi Tangkap Tangan (OTT) beberapa waktu terakhir.
"Tapi sebenarnya, kalau peningkatan korupsi itu sendiri ya itu normal seperti itu terus sejak dulu. Nah yang sekarang jadi masalah kenapa (IPK) turun. Itu bukan karena penegakan hukumnya di bidang korupsi, karena penegakan hukum itu naik," kata Mahfud ditemui di Panti Asuhan Bina Siwi, Bantul, DIY, Jumat (3/2).
Penindakan terhadap kasus Asuransi Jiwasraya, Asabri, proyek Satelit Kemhan, bagi Mahfud adalah cerminan komitmen luar biasa pemerintah dalam memberantas kasus korupsi selama tiga tahun belakangan.
"Kejaksaan Agung itu seperti melakukan amputasi terhadap tangan pemerintah sendiri. Orang pemerintah sendiri ditangkepin semua, (contoh kasus) Asuransi Jiwasraya, Asabri, Satelit Kemhan, menterinya dua ditangkap, Gubernurnya digelandang, bupati-bupati ditangkap OTT dan sebagainya," sambungnya.
Lihat Juga : |
Mahfud akui publik salahkan eksekutif
Oleh karenanya, Mahfud berpandangan, turunnya IPK bukan hanya berdasarkan penilaian Transparency International Indonesia (TII) ke pemerintah atau eksekutif semata. Namun mencakup kinerja yudikatif dan legislatif.
"Penilaiannya itu terhadap legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kalau di bidang eksekutif rasanya kita sudah habis-habisan, buktinya ya penegakan hukum itu. Tapi korupsi itu korupsi ketika pembuatan undang-undang, ya kan. Korupsi ketika proses peradilan dan sebagainya," kata Mahfud.
"Dan orang yang tidak tahu kadangkala lalu menyalahkan eksekutif saja. Padahal kita tidak boleh masuk secara dominan proses undang-undang karena kita buat bersama, proses peradilan malah kita nggak boleh masuk sama sekali," imbuhnya.
Presiden Joko Widodo (Jokowi), menurut Mahfud juga telah menginstruksikan agar tak ada pandang bulu dalam proses penindakan korupsi. Hanya saja, pemerintah cuma bisa berdiri dari sudut akademis, atau bukan langkah teknis operasional ketika mengantisipasi korupsi di ranah legislatif dan yudikatif.
"Akademis, misalnya hei, kalau buat undang-undang ini, undang-undang yang diperlukan ini, hei kalau buat undang-undang jangan berkolusi dengan pihak luar. Itu kalau untuk legislatif," katanya.
Mahfud mengutip hasil penelitian TII soal korupsi yang terjadi secara sistemik di bidang politik, yang mana risiko politik sudah melekat di sistem politik. Sehingga, pemerintah tak bisa campur tangan semisal dalam agenda partai politik dan lain sebagainya.
"Kalau di bidang peradilan gila lagi, itu kita nggak boleh ngomong. Oleh sebab itu saya katakan, orang mungkin salah kaprah mengatakan kita harus hormati putusan pengadilan. Saya sendiri untuk kasus tertentu, saya tidak akan hormati putusan pengadilan. Tapi saya tunduk, karena itu putusan hakim. Tapi saya tidak hormat kalau putusannya nggak bagus, (semisal) diduga terjadi manipulasi," tegasnya.
Selain itu, Mahfud melihat, indikator IPK versi TII juga bukan soal sedikit banyaknya kasus korupsi di Indonesia. Masalah kolusi dalam proses birokrasi perizinan turut mempengaruhi. Itulah mengapa, lanjut dia, pemerintah mengeluarkan UU Ciptaker dalam bentuk omnibus law agar proses perizinan tidak bertele-tele dan hanya melalui satu pintu.
Dalam ranah administrasi birokrasi, pemerintah kini tengah merintis instrumen hukum yang memungkinkan untuk bekerja dan mengontrol cepat.
Digitalisasi penyelenggaraan pemerintah lewat Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) maka dari itu, lanjut Mahfud, dibangun dan akan segera disahkan demi mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, transparan, dan akuntabel.
"Agar korupsi korupsi kolusi, pembayaran di bawah meja dan sebagainya itu bisa ditangkal. Banyak juga kan kalau kita lihat proses perizinan di daerah pertambangan, kehutanan, dan sebagainya itu banyak kolusinya yang kita tahu dan kita tangani, dan itu yang dirasakan oleh persepsi masyarakat internasional, kepastian berusaha di Indonesia itu gimana," paparnya.
Mahfud menekankan, SPBE dirancang untuk membendung praktik-praktik macam itu. OTT tetap dilakukan sembari sistem ini tengah disiapkan maupun sudah diimplementasikan nantinya.
"Bukan kita tidak menindak, kita menindak. Tapi kepastian-kepastian itu sekarang harus diatur, dibijaki dengan kebijakan-kebijakan baru yang sifatnya strategis," pungkas Mahfud.
Sebelumnya, Transparency International Indonesia (TII) mengungkapkan IPK Indonesia tahun 2022 berada di skor 34 atau turun empat poin dari tahun sebelumnya. Indonesia menempati peringkat 110 dari 180 negara yang dilibatkan. IPK Indonesia tahun 2022 dinilai mengalami penurunan terburuk sepanjang sejarah reformasi.
[Gambas:Video CNN]