Satu Abad NU: Ubah Politik Pragmatis dan Bendung Syahwat Politik

CNN Indonesia
Rabu, 08 Feb 2023 06:48 WIB
Nahdlatul Ulama (NU) sudah berusia seratus tahun atau 1 abad. (ANTARA FOTO/Zabur Karuru)
Jakarta, CNN Indonesia --

Nahdlatul Ulama (NU) memperingati usianya yang menyentuh satu abad. Kiprah salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia itu terhadap kehidupan berbangsa sudah terlihat sejak didirikan pada 1926 silam.

Mulai dari dikeluarkannya resolusi jihad pada 1945, turut serta dalam finalisasi pancasila melalui Piagam Jakarta, aktif sebagai partai politik pada Pemilu 1955, hingga dikeluarkannya Khittah'26 pada Muktamar 1984.

Bahkan, cucu pendiri NU sekaligus mantan Ketua Umum PBNU 1984-1998 Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pernah berhasil menduduki kursi presiden pada 1999 hingga 2001.

Ormas yang didirikan Hasyim Asyari selama 100 tahun perjalanan dikenal dinamis dan kerap terjadi tarik-menarik kepentingan di dalam politik praktis hingga Pemilu. Depolitisasi NU kemudian mengemuka di era kepemimpinan Ketum PBNU  Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya.

Yahya menyesalkan pada Pilpres 2019 lalu ada mobilisasi dukungan dengan jadikan identitas NU sebagai senjata. Ia kemudian mengaku hal ini terjadi karena masih ada kecenderungan politik identitas yang kuat dalam tubuh NU.

Lebih dalam ia menyebut kecenderungan politik identitas itu bertalian dengan syahwat kader NU yang menurutnya masih kuat. Saat terpilih menggantikan Said Aqil Siradj, Yahya mendeklarasikan tidak ada lagi capres dan cawapres dari PBNU di Pilpres 2024.

Dia pun ogah PBNU dijadikan alat politik oleh kelompok mana pun. Yahya kemudian menyinggung relasi dekat PBNU dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

"Relasi NU dengan PKB saya kira alami sekali karena dulu PKB dulu sendiri diinisiasi, dideklarasikan oleh pengurus-pengurus PBNU, itu satu hal, tapi sekali lagi tidak boleh lalu NU ini jadi alat dari PKB atau dikooptasi dengan PKB," ujar Yahya.

Pengajar departemen sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM) Arif Akhyat menerangkan, format politik ideal PBNU ialah politik yang tidak berorientasi pada politik merebut kekuasaan, melainkan politik pemberdayaan.

"Ideal politik NU ya bukan politik kekuasaan tapi politik yang empowering dalam bidang sosial, budaya, ekonomi dan ini menurut saya ini lebih urgent lebih menjadikan NU lebih kuat," kata Arif kepada CNNIndonesia.com, Senin (6/2).

Ideal yang dimaksud Arief dalam hal ini ialah sudah sepatutnya PBNU berperan sebagai stabilitator antar kekuatan dan etnis yang bergejolak.

"Tetapi, kalau kita bicara ideal di negara yang heterogen, maka sebenarnya politik ideal NU adalah ideal untuk menyeimbangkan antar etnis, antar kekuatan, antar struktur. Itu politik ideal bukan politik dalam arti merebut kekuasaan," ujarnya.

Kendati begitu, Arif menyebut positioning PBNU yang ideal ini akan bergantung pada pemahaman fiqh politik kader NU yang berbeda-beda. Sehingga, menurut Arif tidak ada satu konsepsi yang betul-betul ideal ihwal tersebut.

"Fiqh itu ditafsir oleh orang NU yang berbeda-beda mengenai politik. Sehingga apakah NU masuk ke dalam kekuasaan atau luar kekuasaan itu secara fiqh mereka beda tafsir. Jadi, jangan diukur secara praktis tapi diukur secara pemahaman dalam memahami NU ini harus masuk dalam lingkaran atau tidak," kata Arif.

Syahwat politik NU

Di sisi lain, Arif menyayangkan pada praktiknya, politikus hingga pejabat publik yang berlatar belakang NU kerap menggunakan massa besar nahdliyin demi menunjang misi atau syahwat politik pribadi.

"Dari kepala daerah di provinsi maupun kabupaten bahkan desa itu ada orang NU, persoalannya adalah apakah kepala daerah sampai kades yang NU itu punya komitmen untuk membangun NU secara politik? Artinya ada rasionalitas yang ditaruh oleh mereka atau tidak dalam membangun politik NU, bukankah terbalik jadi NU digunakan untuk politisasi dia?" ucap dia.

Seharusnya, mereka membangun kecerdasan dan kesadaran politik alih-alih menjadikan basis massa NU untuk dijadikan mesin pemenangannya.

"Secara politik kalau simbolik iya itu bisa dibanggakan, 'oh ini kader NU' tetapi persoalannya kepala daerah NU apakah secara politik itu memberikan landasan kritis berpolitik bagi masyarakat NU atau tidak?" katanya.

Politik paradigmatik bukan pragmatis 

Arif lantas menyebutkan PBNU memiliki pekerjaan rumah untuk melakukan format ulang grand design politik nasional yang dilandaskan atas dasar akademik. Khususnya di masa-masa jelang Pemilu.

Dengan begitu, menurut Arif, cara berpikir Nahdliyin dalam berpolitik akan lebih bersifat paradigmatik, bukan pragmatis.

"Format politik nasional seperti apa dan harus punya dasar-dasar akademik, dasar-dasar yang teruji secara politik, akademik. Jadi, NU jangan hanya bawa otoritas kultural solidaritas. Harus di-breakdown ke cara berpikir yang paradigmatik dan bukan pragmatis," ujar dia.

Tidak hanya itu, grand design tersebut pun haruslah bisa ditafsirkan hingga ke akar rumput, tidak hanya sebatas pada kalangan elit belaka. Sehingga, format politik itu pun jadi memiliki arti yang mendalam bagi seluruh Nahdiliyin hingga ke lapisan bawah.

"Sehingga, PBNU dalam hadapi pemilu itu ada kejelasan format politik, grand design yang itu bisa ditafsirkan oleh siapapun, kalau pemahaman itu mandek di tengah-tengah tidak ada artinya," pungkas Arif.

(mnf/dal)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK