Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mempertanyakan usulan menerapkan kembali sistem proporsional tertutup atau mencoblos partai di tengah proses Pemilu 2024 yang sudah berjalan.
"Tepat kah di tengah perjalanan yang telah direncanakan dan dipersiapkan dengan baik itu, utamanya oleh partai-partai politik peserta pemilu, tiba-tiba sebuah aturan yang sangat fundamental dilakukan perubahan?" tulis SBY dikutip dari laman Facebook resmi SBY, Minggu (19/2).
Pernyataan mantan Presiden ke-6 RI itulah yang kemudian membuat Demokrat dan PDIP terlibat debat panas soal sistem pemilu yang tengah diuji di Mahkamah Konstitusi (MK).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Membalas SBY, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyebut bekas Menteri di era Presiden Megawati Soekarnoputri itu seolah-olah lupa bahwa sistem pemilu diubah pada masa kepemimpinannya.
"Pak SBY lupa bahwa pada bulan Desember tahun 2008, dalam masa pemerintahan beliau, justru beberapa kader Demokrat yang melakukan perubahan sistem proporsional tertutup menjadi terbuka melalui mekanisme judicial review," kata Hasto di Kabupaten Lebak, Banten, Minggu (19/2).
Dari sembilan partai di parlemen, hanya PDIP yang mendukung diterapkan sistem coblos partai. Sementara, delapan fraksi lainnya mulai dari Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, PAN, PKS, Demokrat, dan PPP menolak wacana tersebut.
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menganggap memang tidak ada urgensi yang memaksa hingga harus mengganti sistem pemilu. Mengingat, proses pemilu sudah berjalan dan tinggal setahun lagi menuju hari pencoblosan.
"Jelas tidak ada urgensinya apalagi ini sudah kurang dari setahun sebelum pemilu jadi terlalu dipaksakan kenapa misalnya kalau mau dilakukan kenapa sih enggak dari dulu," kata Bivitri kepada CNNIndonesia.com, Senin (20/2).
Bahkan menurutnya pilihan kembali ke proporsional tertutup hanya akan membuat demokrasi Indonesia berderap mundur. Bivitri menegaskan kisruh yang terjadi belakangan ini hanya kepentingan politik praktis para elite semata, bukan untuk rakyat.
Ia menuturkan hal ini membuat pemilih menjadi semakin berjarak dengan wakilnya dan partai politik pun akan semakin elitis.
"Kalau balik ke sistem proporsional daftar tertutup, itu akan demokrasi kita mundur sebenarnya karena dengan begitu kita pemilih jadi semakin berjarak dengan wakil kita, tapi lebih dari itu juga yang kedua parpol jadi makin kuat elite-nya," tegas dia.
Ia pun menyoroti cara pengubahan melalui uji materiil di MK. Menurutnya, ini merupakan preseden buruk. Bivitri menerangkan jika ingin diubah akan lebih baik melalui debat terbuka. Sehingga publik bisa turut menilai.
"Menurut saya ini dibawa ke MK itu juga cara yang buruk sekali dalam demokrasi kita bukan soal MK-nya bisa dipercaya atau enggak, tapi ini harusnya diperdebatkan secara terbuka," ujar Bivitri.
Lebih dalam ia menuturkan, jika melalui MK, maka apa yang diputuskan oleh MK seakan menjadi mutlak dan dianggap sebagai materi muatan konstitusi. Artinya, jika MK memutuskan sistem coblos partai, maka akan muncul anggapan sistem itu merupakan mandat konstitusional dan tidak bisa diubah.
"Bahayanya juga adalah kalau ini dianggap sebagai materi muatan konstitusi, kan apa yang diputuskan oleh MK itu kan seperti garis konstitusi, juga seperti materi muatan konstitusi. Itu akibatnya kita jadi fix sistemnya harus seakan-akan sistem itu," ungkapnya.
Di satu sisi, ia menduga pengubahan ini melalui MK lantaran PDIP menurutnya sudah pasti kalah jika mengajukannya melalui mekanisme revisi undang-undang di DPR.
Selain itu, Bivitri menduga PDIP yang ngotot menerapkan sistem coblos partai ialah untuk meningkatkan suaranya di Pemilu 2024. Ia menyebut PDIP lebih menonjol secara partai ketimbang personal masing-masing kadernya.
"Dengan melakukan sistem proporsional tertutup mereka akan lebih bisa banyak dapat suara ke partai jadi bisa lebih tinggi presentasenya karena mungkin kapasitas-kapasitas personal anggotanya tidak sebaik atau sepopuler partainya," pungkasnya.
Manager Program Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramdhanil menyampaikan hal senada. Menurutnya tidak ada urgensi untuk mengubah sistem pemilu hari ini.
Fadli menuturkan pengubahan sistem pemilu di tengah tahapan Pemilu 2024 yang sudah berjalan hanya akan menimbulkan ketidakpastian proses dan kekacauan proses pemilu.
"Itu akan berdampak pada banyak pengaturan di UU Pemilu, mekanisme pencalonan, kampanye, penegakan hukum, manajemen pemilu, pemberian suara, belum lagi sosialisasi kepada pemilih, itu semua berdampak," kata Fadli, Selasa (21/2).
Fadli juga menduga kisruh yang terjadi belakangan ini hanya merupakan pertarungan segelintir orang untuk kepentingan jangka pendeknya.
Ia menyebut kelompok yang menginginkan itu di tengah tahapan pemilu yang sudah bergulir seakan tidak memahami prinsip terpenting penyelenggaraan pemilu, yakni kepastian proses.
"Pihak atau kelompok yang menginginkan adanya perubahan sistem pemilu di tengah tahapan pemilu itu seperti orang yang tidak mengerti prinsip paling penting dari sebuah proses penyelenggaraan pemilu yaitu, predictable process," tegas dia.
Fadli pun menyoroti upaya perubahan sistem pemilu yang ditempuh melalui jalur MK, menurutnya sistem pemilu merupakan ranah di dalam mekanisme legislasi di DPR.
"Tempatnya bukan di MK. Tapi dalam mekanisme legislasi yang terbuka yang bisa memberikan ruang kepada banyak orang memberikan catatan, masukan dan lain-lain," ujarnya.