Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo atau Bamsoet menegaskan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memutuskan menunda tahapan Pemilu 2024 telah bertentangan dengan konstitusi.
"Putusan tersebut bertentangan dengan amanat konstitusi dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. MPR juga menegaskan pada prinsipnya Pemilu harus dilaksanakan tepat waktu sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 22 E," kata Bamsoet dalam keterangannya, Jumat (3/3).
Bamsoet menilai UU Pemilu memang membuka kesempatan dilakukannya penundaan maupun pemilu susulan. Akan tetapi, ia mengatakan syarat itu diatur secara ketat dan terbatas dengan kondisi sedang kerusuhan, gangguan keamanan dan bencana alam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Meminta kepada seluruh penyelenggara Pemilu agar tetap menjalan proses dan tahapan Pemilu 2024 yang telah berjalan hingga saat ini, sesuai skema atau roadmap tahapan Pemilu yang telah disepakati bersama," kata Bamsoet.
Selain itu, Bamsoet juga menegaskan UU Pemilu tidak memberikan amanat kepada Pengadilan Negeri berhak memutuskan sengketa terkait pemilu. Hal ini diatur dalam Pasal 470 dan Pasal 471 UU Pemilu. Baginya, pihak yang berhak menangani sengketa pemilu hanya Bawaslu dan PTUN.
Karena itu, ia berharap KPU bisa mendesak PN Jakpus memberikan detail dan rincian faktor-faktor yang menyebabkan Pemilu 2024 harus ditunda.
"Seperti seberapa besar wilayah penundaan, dan pihak mana yang menetapkan penundaan, dikarenakan hal-hal tersebut harus diinformasikan secara terbuka," kata dia.
Senada, Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah menilai putusan PN Jakpus menunda Pemilu cacat hukum dan bertentangan dengan UUD NRI 1945. Dia berpendapat gugatan Partai Prima seharusnya diselesaikan dengan UU Pemilu, bukan hukum perdata berupa perbuatan melawan hukum.
''Putusan pengadilan negeri yang meminta KPU menunda Pemilu segara jelas bertentangan dengan UUD NRI 1945 yang secara jelas menyebutkan pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali. Padahal, hakim dalam memutus perkara juga harus berpedoman kepada UUD NRI 1945 sebagai hukum dasar tertinggi,'' kata Basarah dalam keterangannya.
Basarah menjelaskan sengketa pemilu pada dasarnya adalah permasalahan yang tunduk pada lex spesialis. Ia menilai Partai Prima bila seharusnya seharusnya mengajukan sengketa proses pemilu lewat upaya hukum ke PTUN.
Ia menilai UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menyatakan semua gugatan perbuatan melawan hukum oleh pejabat pemerintahan merupakan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
''Karena ada upaya banding oleh KPU, maka putusan PN Jakpus itu belum berkekuatan hukum tetap. Artinya tahapan pemilu 2024 tetap berjalan sebagaimana mestinya," kata dia.
PN Jakarta Pusat sebelumnya mengabulkan gugatan Partai Prima dengan menghukum KPU untuk menunda tahapan Pemilu 2024. Perkara nomor: 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst itu diadili oleh ketua majelis hakim T. Oyong dengan hakim anggota H. Bakri dan Dominggus Silaban.
Majelis Hakim menyatakan KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum. KPU diminta membayar ganti rugi materiel sebesar Rp500 juta kepada Partai Prima.
Meski demikian, Humas PN Jakarta Pusat Zulkifli Atjo berpendapat putusan itu belum memperoleh kekuatan hukum tetap atau inkrah. Ia menjelaskan masih ada upaya hukum di Pengadilan Tinggi.
(rzr/isn)