PPP Dukung Ganjar, Nostalgia 'Mega-Bintang' hingga Mega-Hamzah Haz
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) baru-baru ini telah menyatakan dukungannya bagi kader PDI Perjuangan (PDIP) Ganjar Pranowo sebagai capres di Pilpres 2024 pada Rabu (27/4) lalu.
PPP menjadi partai pertama di parlemen yang menyatakan dukungan kepada Ganjar setelah PDIP memutuskan mengusungnya pada Jumat (21/4) lalu.
Usai menyatakan dukungannya, Plt Ketum PPP Mardiono mendorong kadernya bisa menjadi bakal calon wakil presiden untuk mendampingi Ganjar.
"Berdasarkan mandat yang diberikan forum Rapimnas V maka PPP akan berusaha maksimal melakukan komunikasi dan langkah politik untuk mendorong kader PPP dapat dipasangkan sebagai bakal cawapres mendampingi bapak Ganjar Pranowo," kata Mardiono.
Sambutan hangat hadir dari PDIP usai PPP mendukung Ganjar. Sekjen PDIP menyebut partainya siap bertemu PPP untuk menindaklanjuti peluang kerja sama kedua partai di Pilpres 2024.
Hasto lantas menyinggung hubungan kedua partai memiliki hubungan sejak lama. Ia mencontohkan baik PDIP dan PPP memiliki kesamaan nasib pernah sama-sama ditindas oleh rezim Orde Baru.
Hasto juga menyinggung Hamzah Haz juga pernah mendampingi Megawati sebagai wapres di tahun 2001 lalu.
"Megawati dan Pak Hamzah Haz pun juga memiliki hubungan yang sangat erat apalagi pernah bersama di Pemerintahan. Saat itu, Pak Hamzah menjadi wakil presiden," katanya.
Mega-Bintang hingga Mega-Hamzah Haz
Bila merunut sejarah, kedekatan PDIP dan PPP memang punya catatan panjang. Kedekatan sudah terjalin sejak masa Orde Baru. Pada tahun 1997 atau setahun sebelum Soeharto lengser, muncul gerakan terkenal yang dinamakan 'Mega-Bintang'.
Gerakan Mega-Bintang hadir sebagai kolaborasi nonformal antara simpatisan PDI pro-Megawati dan PPP yang saat itu masih bersimbol bintang, untuk melawan hegemoni Soeharto dan Golkar jelang Pemilu 1997.
PDI ketika itu sedang terpecah imbas Kongres Medan pada Juni 1996. Dalam kongres itu, Soerjadi, yang didukung pemerintah Orba terpilih sebagai ketua umum PDI. Kongres itu juga digelar untuk melengserkan Megawati dari kursi ketua umum PDI.
Namun, dukungan terhadap Megawati dari para simpatisannya tetap meluas.
Aliansi ini awalnya muncul di Kota Surakarta yang diinisiasi oleh Ketua DPC PPP Surakarta kala itu, Mudrick Sangidu.
Djarot Saiful Hidayat dalam buku berjudul "Politik dan Ideologi PDI Perjuangan 1987-1999: Penemuan dan Kemenangan" menjelaskan gerakan ini awalnya sebagai bentuk simpati para simpatisan PDI pro-Megawati di Surakarta terhadap manuver Mudrick.
Mudrick ketika itu mengambil sikap konfrontatif terhadap pemerintah Orba guna melawan "kuningisasi" yang identik dengan Golkar dan memperjuangkan demokrasi.
Para simpatisan PDI pro-Megawati, yang tengah menghadapi represi dari rezim Orde Baru, menyatakan secara kolektif mendukung langkah Mudrick. Kolaborasi keduanya kemudian melahirkan gerakan Mega-Bintang di Surakarta.
Gerakan Mega-Bintang kemudian meluas ke kota lain di Indonesia. Gerakan Mega-Bintang mencapai puncaknya menjadi perhatian publik ketika masa kampanye Pemilu 1997.
Kala itu, pawai dan konvoi massa sepeda motor di jalan-jalan ramai mengibarkan bendera PPP, atribut-atribut merah PDI pro-Megawati, foto Megawati, foto Mudrick, serta atribut lain bertuliskan 'Mega-Bintang' perpaduan merah dan hijau.
Gerakan ini memberikan hasil signifikan bagi PPP Surakarta. PPP berhasil mencetak angka terbesar dalam sejarah kampanye partai di Kota Solo. Sekitar 100.000 lebih massa menjejali alun-alun selatan Solo.
Dalam kampanye di Kota Solo, Mudrick menceritakan soal pertemuannya dengan Megawati ke massa PPP yang hadir.
Melihat masifnya gerakan ini, rezim Orde Baru terganggu dan akhirnya melarangnya. Larangan ini diambil pada Senin, 12 Mei 1997, pada rapat evaluasi kedua pelaksanaan kampanye yang dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri saat itu Yogie S. Memet.
Pemerintah kala itu menyatakan istilah Mega-Bintang tidak bisa dipakai oleh peserta pemilu. Sebab, peserta pemilu hanya ada tiga, yakni PPP, Golkar, dan PDI. Menyusul larangan ini, kepala-kepala daerah di kabupaten/kota langsung memerintahkan penurunan seluruh spanduk Mega-Bintang.
Meski dilarang, gerakan Mega-Bintang juga memberikan insentif bagi PPP Surakarta di Pemilu 1997. Suara PPP Surakarta meningkat hingga 150 persen dan mendapatkan tambahan kursi dari 6 pada Pemilu 1992 menjadi 15 kursi.
Tak hanya di zaman Orde Baru saja kolaborasi antara PDIP dan PPP terjalin. Keduanya juga sempat bekerja sama ketika Megawati menjabat sebagai Presiden, kemudian Hamzah Haz sebagai wakil presiden periode 2001-2004.
Kala itu, Megawati menjabat sebagai Ketum PDIP dan Hamzah Haz sebagai Ketum PPP.
Kolaborasi PDIP dan PPP juga terus terjalin dalam momentum Pilpres. Pada Pilpres 2019 lalu misalnya, PPP bergabung dalam Koalisi Indonesia Maju yang mengusung Jokowi-Ma'ruf Amin.
Dosen Ilmu Komunikasi Politik dan Teori Kritis FISIP Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Mikhael Raja Muda Bataona mengatakan deklarasi dukungan PPP terhadap Ganjar Pranowo adalah sebuah penegasan ideologis sekaligus historis bahwa PPP dan PDIP selalu bisa menghilangkan atau mengomunikasikan perbedaan-perbedaan untuk kemudian bekerja sama.
"Jadi, variabel kedekatan PPP dan PDI Perjuangan secara historis ideologis, sebagai antitesis kekuasaan Soeharto di masa Orde Baru itulah, yang membuat mereka sangat mudah mengambil keputusan untuk mendukung Ganjar," katanya, dikutip dari Antara.
"PPP itu, sejak orde baru, sudah mempunyai semacam DNA sebagai oposisi dan antitesis kekuasaan Orde Baru dan Soeharto, yang demikian otoriter, absolut, dan militeristik. Karena itu, sejarah kedua partai ini, yaitu PDI Perjuangan dan PPP, adalah sebuah perekat yang sulit dilepaskan," imbuh Mikhael.
(rzr/dal)