Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset menegaskan bahwa perampasan aset dapat dilakukan terhadap pelaku tindak pidana tanpa adanya putusan pidana.
Dalam naskah draf RUU yang diterima CNNIndonesia.com, ketentuan itu dituangkan dalam Pasal 2.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Perampasan aset berdasarkan Undang-Undang ini tidak didasarkan pada penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana," demikian bunyi Pasal 2.
Pada bagian penjelasan Pasal 2 disebutkan perampasan aset berdasarkan Undang-Undang ini merupakan rezim perampasan aset secara perdata (civil forfeiture) yang bersifat in rem.
Berdasarkan draf RUU tersebut, perampasan aset yang bersifat in rem dapat diartikan sebagai suatu tindakan hukum untuk melawan aset itu sendiri, bukan terhadap individu (in personam) seperti dalam perkara pidana.
Kemudian, pada Pasal 3 Ayat 1 ditegaskan bahwa perampasan aset tidak menghapuskan kewenangan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana.
"Dalam hal dilakukan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), aset tindak pidana yang telah dinyatakan dirampas negara tidak dapat dimintakan untuk dirampas kembali," demikian bunyi Pasal 3 Ayat 2.
Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan bahwa perampasan aset hanya dilakukan satu kali. Putusan pengadilan mengenai perampasan aset dapat juga diajukan sebagai alat bukti dalam penuntutan terhadap pelaku tindak pidana.
Pemerintah kini tengah menggagas RUU Perampasan Aset dalam upaya memberantas korupsi. Landasan hukum terkait ini diperlukan untuk mengamankan aset-aset yang terkait tindak pidana korupsi.
RUU Perampasan Aset menjadi sorotan setelah disinggung Mahfud MD saat rapat bersama Komisi III DPR beberapa waktu lalu. Rapat saat itu membahas transaksi janggal Rp349 triliun di Kementerian Keuangan. Dia mendorong agar DPR segera membahas RUU tersebut.
Dorongan yang sama juga disampaikan Presiden Joko Widodo. Jokowi berharap segera ada aturan hukum untuk pemerintah mengamankan aset dalam kasus korupsi.
(lna/pmg)