Beberapa pakar hukum mengkritik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari semula empat tahun menjadi lima tahun.
Pakar hukum tata negara, Denny Indrayana menilai Putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022 itu lebih kental nuansa politis suksesi pemenangan Pilpres 2024.
Denny mengatakan putusan tersebut akan langsung berlaku sejak putusan dibacakan. Dengan demikian, masa jabatan pimpinan KPK Firli Bahuri Cs diperpanjang hingga Desember 2024.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menduga perpanjangan masa jabatan Firli hanya untuk mengamankan sejumlah kasus di KPK hingga Pilpres 2024 selesai. Denny berharap sejumlah kasus tersebut tidak menyasar kawan koalisi, dan sebaliknya bisa menyasar lawan atau oposisi.
"Jika proses seleksi tetap harus dijalankan saat ini, dan terjadi Pimpinan KPK di Desember 2023, maka strategi menjadikan KPK sebagai bagian dari strategi merangkul kawan, dan memukul lawan itu berpotensi berantakan," kata Denny dalam keterangannya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (25/5).
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari memandang putusan MK terkait masa jabatan pimpinan KPK menjadi lima tahun itu sarat politis jelang Pilpres 2024.
Ia khawatir pimpinan KPK hanya menjadi alat untuk menggebuk lawan-lawan politik pemerintah.
"Pimpinan KPK memiliki kasus yang relatif berkaitan dengan politik untuk mengkriminalisasi calon-calon politik tertentu demi kepentingan politik kepartaian. Memperpanjang pimpinan saat ini tentu saja memperpanjang rencana untuk mempermasalahkan kasus-kasus tertentu yang sifatnya politis," ujarnya.
Senada dengan Feri, mantan penyidik KPK yang kini menjadi Ketua Indonesia Memanggil (IM57+) Institute M. Praswad Nugraha mengaku khawatir putusan MK tersebut digunakan untuk kepentingan politik 2024.
Menurutnya, kekhawatiran tersebut wajar lantaran ada keanehan dalam proses pengajuan uji materi dan argumentasi yang dipaksakan.
"Apabila [putusan] diterapkan untuk masa kepemimpinan periode ini, maka terdapat potensi besar KPK akan digunakan untuk kepentingan politik 2024," kata Praswad.
Peneliti Pusat Studi Anti-Korupsi (Saksi) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul) Herdiansyah Hamzah menilai putusan MK soal masa jabatan pimpinan KPK menjadi lima tahun tidak masuk akal.
Ia berpendapat argumentasi lima hakim konstitusi yang mengabulkan permohonan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron lemah dan menyimpang dari dua Pasal dalam UU KPK yang mengatur syarat batas usia calon pimpinan KPK dan periodesasi jabatan pimpinan KPK.
Pria yang akrab disapa Castro ini mengaku tidak menemukan basis argumentasi MK dalam ratio decidendi atau pertimbangan putusan.
"Terlebih KPK ini lembaga penegak hukum, di mana semakin panjang masa jabatannya semakin terbuka pula potensi abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan)," ujarnya.
Sebelumnya, dalam sidang pengucapan putusan yang digelar Kamis (25/5), MK memutuskan mengubah masa jabatan pimpinan KPK dari semula empat tahun menjadi lima tahun.
MK juga menyatakan Pasal 29 huruf e UU KPK tentang syarat batas usia calon pimpinan KPK paling rendah 50 tahun dan paling tinggi 65 tahun bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
MK dalam hal ini mengabulkan permohonan uji materi atau judicial review yang diajukan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron yang mempersoalkan Pasal 34 dan Pasal 29 huruf e UU KPK.
(lna/isn)