Cerita Kapuspenkum Kejagung Tinggal di Kos Milik Rafael Alun
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung) Ketut Sumedana mengaku tinggal di kos milik mantan pejabat Ditjen Pajak Rafael Alun Trsambodo.
Ketut menyebut telah kos di sana selama dua tahun yang lalu. Dia menjelaskan penghuni kos tersebut adalah pegawai dari Kejagung, Mabes Polri, PLN, PU, dan pegawai lain yang bekerja di sekitar kawasan Blok M, Jakarta Selatan.
"Saya itu sudah dua kali kos di sana. Saya enggak tahu kalau itu pemiliknya RAT [Rafael Alun Trisambodo]," ujar Ketut saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (4/7).
Ketut baru mengetahui bahwa kos itu milik Rafael setelah membaca sejumlah berita.
Kos itu termasuk aset Rafael yang disita KPK. Namun dia sebagai penghuni kos mengaku belum menerima surat dari KPK. Tanda penyitaan pun belum terpasang.
"Plang penyitaan kan belum ada sampai sekarang. Jadi belum ada upaya mengosongkan tempat itu. Kalau dikosongkan juga kami ke luar kok," kata Ketut.
Menurut Ketut, kos yang dia tempati itu termasuk kos ekonomi. Dia menyebut banyak kos lain di sekitar sana yang disewakan dengan harga lebih tinggi.
Awal menghuni kos milik Rafael, Ketut mengaku dipatok harga Rp3,4 juta tiap bulan. Uang sewa diserahkan kepada petugas yang berjaga di sana. Kos itu, kata Ketut, memiliki total 20 kamar.
"Fasilitasnya kamar mandi di dalam, televisi, sama AC. (Ukuran) kamarnya cuma 3x3 kok," ungkap Ketut.
Usul KPK tak kosongkan indekos
Lebih lanjut, Ketut mengusulkan lembaga antirasuah untuk tidak mengosongkan indekos milik Rafael.
Ketut meyakini tidak ada pelanggaran hukum meskipun kos Rafael tetap dihuni. Adapun uang sewa dari penghuni indekosa dapat masuk ke kas negara.
"Saya kira tidak ada yang dilanggar, itu malah negara diuntungkan yang penting ada yang mengawasi dan mengelola, sama dengan kapal, hotel, tambang, dan lain-lain. Kalau langsung disita dan dibekukan negara malah rugi pendapatan berkurang, pajak tidak jalan, tenaga kerja bisa nganggur, itu cuma usulan, tidak maksud menghalangi," tutur Ketut.
Ketut mengaku masa kontraknya di indekos itu bakal berakhir pada bulan ini. Dia sedang mencari tempat indekos lain yang berlokasi di sekitar Kejagung.
Di sisi lain, Ketut bercerita bahwa dirinya tidak terlalu mengenal warga yang tinggal di lingkungan indekos itu karena kerap pulang malam.
"Di sana cuma numpang tidur aja. Saya dijadikan Ketua PJI karena paling senior. Ketua Persatuan Jaksa Indekos. Hahahahaha. itu cuma kelakar," kelakar Ketut.
Rumah kos milik Rafael jadi sorotan karena masih ada penghuninya. Padahal, aset itu sudah disita KPK.
Salah satu akun yang menyoroti hal itu adalah akun Twitter @logikapolitikid.
KPK lantas menyebut bakal memeriksa rumah milik Rafael di Simprug, Jakarta Selatan yang disebut masih digunakan setelah disita.
"Kita akan cek ya. Kalau ada informasi itu nanti kirimkan informasi ke kita. Tolong diinformasikan ke kita, nanti kita akan cek," ujar Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu saat dijumpai di kantornya, Jakarta, Senin (5/6).
Selain itu, Asep juga menyoroti sejumlah barang Rafel Alun yang juga berada dalam aset yang disita KPK.
"Dalam penyitaan itu, di dalamnya kan juga ada barang-barang. Kita tidak memperbolehkan itu karena ditakutkan barang-barang itu juga hilang. Ketika disita nanti misalnya ada lukisan, itu kan sebagian dari tindak pidana korupsi, dibeli dari hasil korupsi," jelas Asep.
Lebih lanjut, dia mengungkap alasan aset indekos milik Rafael di Jakarta Barat belum dipasang plang disita KPK.
Indekos itu juga disebut masih beroperasi hingga saat ini. Hal itu, kata dia, karena masih ada penyewa yang belum habis masa kontraknya.
Di sisi lain, KPK mesti bergerak cepat mengumpulkan dan menyita aset tersangka tindak pidana pencucian uang (TPPU). Setelah terkumpul, Asep menjelaskan KPK baru bakal memasang plang disita KPK.
"Waktu itu kita ke sana memang ada yang tinggal ke sana. Dan itu dia ngontrak satu bulan atau dua bulan. Jadi dia biarkan dulu dia menghabiskan itu, tapi tidak bisa diperpanjang. Jadi memang ada. Karena kita juga kan dia itu mengontrak sebelum tahu itu hasil dari korupsi. Jadi kita harus menghargai kontrak yang mereka lakukan," tutur Asep.
"Kalau misalnya datang ke sana dan langsung 'eh pak, keluar pak' tidak manusiawi, perlu perlu diberi kesempatan mereka mencari kontrakan yang baru," imbuhnya.
(pop/wis)