Nestapa Warga Gunungkidul Mengais Rembesan Bukit Imbas Kekeringan
Masyarakat Dusun Tobong Kelurahan Sambirejo, Kecamatan Ngawen, Gunungkidul, DIY terpaksa harus menempuh perjalanan jauh hingga Sukoharjo, Jawa Tengah demi bisa memperoleh air bersih di tengah musim kemarau panjang dan kekeringan.
Dusun Tobong adalah salah satu wilayah paling utara di Ngawen, Gunungkidul yang mengalami krisis air bersih dampak kemarau panjang tahun ini. Mata air di sana telah lama mengering karena hujan tak kunjung turun.
Marino, salah seorang warga Dusun Tobong bersama dua kepala keluarga lainnya mau tak mau harus menyeberang ke Sukoharjo demi bisa mencukupi kebutuhan air bersih. Bantuan dari pemerintah, dirasa mereka belum mencukupi.
Dusun Tobong di wilayah perbatasan dua kabupaten memang lebih mudah diakses dari Sukoharjo ketimbang dari pusat kota Gunungkidul itu sendiri. Termasuk bagi masyarakatnya yang merasa lebih gampang mendapatkan air bersih di provinsi tetangga.
"Repot, tapi ya gimana. Terpaksa," kata Marino, Rabu (13/9) lalu.
Marino bercerita hampir setiap hari ia dan warga senasib lainnya harus berjalan kaki sembari menenteng beberapa jeriken untuk wadah air. Medan terjal membuat mereka urung menggunakan sepeda motor.
"Kami, warga berharap ada bantuan sumur bor. Kalau kami bikin modalnya yang enggak ada," harapnya.
Nestapa dampak kekeringan juga dirasakan warga Dusun Salak, Semoyo, Patuk, Gunungkidul. Mereka mengais air rembesan yang mengalir dari sebuah tebing atau biasa disebut belik. Itu pun harus berjalan menuruni bukit terlebih dahulu agar bisa sampai ke lokasi.
Naik turun bukit sudah bak jadi kebiasaan bagi Amir dan warga Dusun Salak lainnya saat musim kemarau tiba. Mereka biasanya mengandalkan munculnya genangan dari rembesan air yang mengucur.
Jumlahnya tentu tidak seberapa jika dibandingkan kebutuhan sehari-hari untuk mandi, mencuci, hingga memasak.
Maka dari itu Amir dalam sehari bisa bolak-balik ke lokasi belik ini, di samping ia juga harus bergantian dengan warga lain yang membutuhkan.
"Kalau dulu ya jalan kaki (ke lokasi). Tapi sekarang sudah bisa naik motor diparkir di atas (bukit), baru turun ngambil air," ujarnya.
Air dari belik ini, menurut Amir, juga tidak bisa langsung dipakai karena harus menunggu sampai kotorannya mengendap.
Proses panjang nan melelahkan ini suka atau tidak harus dilalui, terutama semenjak sumber air bersih yang dikelola secara swadaya memakai sumur bor rusak jaringannya imbas gempa bumi beberapa tahun lalu.
Gali pinggiran sungai
Lain cerita lagi dengan warga Dusun Gebang, Pengkol, Nglipar, Gunungkidul yang kerja keras menggali pinggiran Sungai Ngrawu. Sejak sumber mata air itu menyusut, mereka memutar otak mencari alternatif baru.
"Sungai Ngrawu masih ada airnya, tapi sedikit sekali," kata Purwanto, salah seorang warga Gebang.
Menipisnya sumber mata air lama tak berimbang dengan kebutuhan warga seluruh Gebang. Alhasil, setiap hari mereka harus berpanas-panasan mencari air di tepian sungai.
Berdasarkan laporan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY per 15 September 2023, terdapat 25 desa di 10 kecamatan di Gunungkidul yang dinyatakan terdampak kekeringan.
"Pendataan berdasarkan dropping air (pengiriman bantuan air bersih) yang sudah dilakukan," kata Kepala Bidang Penanganan Darurat BPBD DIY Lilik Andy Aryanto saat dihubungi, Jumat (15/9).
Bukan cuma wilayah Gunungkidul, laporan BPBD DIY menyebut ada 11 desa di 7 kecamatan daerah Bantul yang mengalami krisis air bersih. Kemudian di Kulon Progo terdapat 8 desa di 5 kecamatan.
Sleman nyatanya juga tak luput dari dampak kekeringan. Menurut Lilik, tercatat 1 wilayah di Kaliurang Timur mengalami kekeringan.
Serangkaian upaya antisipasi dan mitigasi oleh jajaran OPD yang telah dilaksanakan antara lain, pembuatan sumur-sumur resapan; pemeliharaan sumur bor; pemeliharaan embung-embung serta saluran irigasi; dan sosialisasi gerakan memanen air hujan.
"Sedangkan jangka pendeknya dengan dropping air," tutup Lilik.