MK Diminta Atur Pelaku Pelanggaran HAM Berat Tak Boleh Jadi Capres

CNN Indonesia
Selasa, 19 Sep 2023 02:45 WIB
Mahkamah Konstitusi diminta mengatur pelaku pelanggaran HAM berat, termasuk penculikan aktivis, tak boleh menjadi capres dan cawapres. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia --

Mahkamah Konstitusi diminta mengatur pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat dilarang menjadi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

Hal itu disampaikan Anang Suindro selaku kuasa pemohon uji materiil Pasal 169 huruf d dan Pasal 169 huruf q UU Pemilu terkait syarat capres dan cawapres dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Gedung MKRI, Jakarta, Senin (18/9).

Mulanya, Anang menyinggung pernyataan Presiden Joko Widodo yang mengakui 12 peristiwa pelanggaran HAM berat pada 11 Januari 2023.

Kasus pelanggaran HAM berat itu yaitu Peristiwa tahun 1965-1966; Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985; Peristiwa Talangsari, Lampung 1989; peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh, 1989; peristiwa Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998; peristiwa Kerusuhan Mei 1998; peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999; peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999; peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999; peristiwa Wasior, Papua 2001-2002; peristiwa Wamena, Papua 2003; peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.

"Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, maka negara Indonesia harus dipimpin oleh Presiden dan Wakil Presiden yang tidak memiliki rekam jejak pelanggaran Hak Asasi Manusia, penculikan aktivis, menghilangkan nyawa secara paksa, dan tindakan-tindakan yang kontradiktif terhadap demokrasi dan/atau anti-demokrasi, serta tindak pidana berat lainnya," ujar Anang dalam persidangan.

Anang juga menyinggung Pasal 7A UUD 1945 terkait pemberhentian presiden dan wakil presiden telah terbukti melakukan pelanggaran hukum, berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.

"Maka seharusnya ada upaya pencegahan dan/atau antisipasi yang diatur dalam persyaratan calon presiden dan calon wakil presiden dalam Undang-Undang Pemilu," kata dia.

Atur batas usia

Selain itu, pemohon juga ingin MK membuat Pasal 169 huruf (q) UU Pemilu yang kini membatasi usia minimal capres cawapres pada 40 tahun juga mengatur batas maksimal capres cawapres pada 70 tahun.

Pemohon menyinggung Pasal 6 ayat 1 UUD 1945 terkait presiden dan wakil presiden mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban. Menurut pemohon, Pasal 169 huruf (q) yang mengatur batas usia minimal capres cawapres tidak memberikan kepastian hukum dan menimbulkan kekaburan norma karena batas usia maksimal tidak diatur.

Pemohon juga membandingkan batas usia maksimal pada lembaga tinggi negara lainnya, contohnya usia maksimal Hakim MK, Hakim Agung, Anggota Komisi Yudisial, hingga Anggota BPK.

Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta pemohon untuk memperkuat posita (uraian dan alasan permohonan pengadilan sengketa) dalam permohonannya. Hal itu merujuk pada salah satu petitum pemohon terkait Pasal 169 huruf (d) UU Pemilu.

"Sementara setiap syarat itu harus ada apa? Putusan pengadilan kah, hanya cukup asumsi kah, keterangan dari kepolisian SKCK kah, itu tolong dilengkapi lagi, itu juga nanti akan berdampak di petitumnya itu," kata Suhartoyo.

"Tapi paling tidak di positanya nanti diperkuat apakah itu harus ada putusan-putusan pengadilan ataukah hanya dugaan atau hanya asumsi, kan enggak boleh kalau asumsi. Ini kan sesedehananya orang berpikir tahu permohonan ini ditujukan untuk pihak-pihak tertentu kan. Tapi juga harus hati-hati ketika minta syarat ini tidak menegaskan apa, ini tidak boleh melanggar ini tanpa ada bukti yuridisnya, atau apa pilihannya. Itu harus hati-hati. Oleh karena itu, tolong di dalam positanya diperkuat kembali argumen-argumenya di dalam elaborasi itu," jelas Suhartoyo.

Dalam kesempatan yang sama, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyinggung Negative Legislator terkait penambahan norma yang dimintakan pemohon.

"Terkait dengan penambahan norma ini, umumnya kita tahu Mahkamah itu sebagai Negative Legislator. Dalam kaitan permohonan ini ada yang meminta penambahan norma sehingga qoute and qoute mengerahkan mahkamah untuk menjadi positive legislator. Tetapi hal ini sejauh alasan-alasan permohonan, kemudian dasar atau alasan dikaitkan dengan teori, asas, doktrin ataupun perbandingan ini tentu kalau bisa meyakinkan hakim, bisa saja hal itu disetujui, dikabulkan oleh mahkamah konstitusi," sebut Daniel.

Kemudian, majelis memberikan waktu kepada pemohon untuk memperbaiki permohonannya hingga batas waktu 2 Oktober 2023.

(pop/pmg)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK