Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membocorkan kasus baru yang menjerat Gubernur Papua nonaktif Lukas Enembe saat membacakan replik dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin (25/9).
Jaksa KPK Yoga Pratomo mulanya menyinggung tuduhan penasihat hukum Lukas yang mengatakan penuntut umum melakukan contempt of court karena melakukan peradilan jalanan. Menurut jaksa, argumentasi tersebut tidak masuk akal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut, jaksa Yoga menjelaskan fakta-fakta yang disampaikan penasihat hukum Lukas dalam pleidoinya mengenai pramugari yang membantu Lukas memindahkan uang, membeli pesawat jet dan lainnya bukanlah fakta yang didakwakan dalam Surat Dakwaan Nomor: 44/TUT.01.04/24/05/2023 Tanggal 30 Mei 2023.
"Fakta yang diungkapkan penasihat hukum tersebut merupakan hasil penyidikan atas perkara Lukas Enembe yang baru, yang baru akan tayang di pengadilan pada episode selanjutnya," kata jaksa Yoga saat membacakan replik di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (25/9).
"Kami mengucapkan terima kasih kepada penasihat hukum yang telah melakukan "spill-spill" fakta menarik dalam episode perkara TPPU atas Lukas Enembe dari hasil penyidikan baru KPK," sambungnya.
Jaksa KPK turut merespons keberatan penasihat hukum Lukas yang merasa tidak diberi tahu atas Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) oleh KPK dalam perkara TPPU. Jaksa Yoga menegaskan KPK berkewajiban memberi tahu dimulainya penyidikan kepada tersangka sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 130/PUU-XIII/2015.
"Dan KPK telah memberitahukan kepada Lukas Enembe dan diterima Lukas Enembe pada tanggal 12 April 2023 sehingga keberatan penasihat hukum tersebut hanya statement untuk menggiring opini," kata jaksa Yoga.
Jaksa Yoga lantas menyentil penasihat hukum Lukas yang dengan semangat tinggi 'ngelindur' dengan mengatakan penuntut umum KPK menggunakan temuan BPKP dan mengesampingkan BPK RI.
Apabila penasihat hukum Lukas sedikit lebih teliti membaca surat tuntutan, terang jaksa Yoga, maka tidak ada kalimat penuntut umum mengatakan hanya BPKP yang berwenang melakukan perhitungan kerugian keuangan negara bukan BPK RI.
Hal tersebut lantaran penuntut umum menyadari kasus yang saat ini menjerat Lukas adalah dugaan suap dan gratifikasi yang tidak memerlukan keterangan ahli terkait terjadinya kerugian keuangan negara.
"Pernyataan penasihat hukum terdakwa ini terkesan mengadu domba antara lembaga KPK dan BPK, karena mengesankan seolah-olah KPK anti dengan penghitungan oleh BPK. Padahal faktanya, antara KPK dan BPK sudah sering bekerja sama dalam pengungkapan perkara korupsi," kata jaksa Yoga.
"Kami sudah kebal dengan pola-pola adu domba seperti ini, karena kami yakin hal ini dilakukan untuk menutupi kegagalan penasihat hukum terdakwa yang tidak mampu meng-counter dalil pembuktian dalam surat tuntutan," lanjutnya.
Lukas dituntut dengan pidana 10 tahun enam bulan penjara ditambah denda sebesar Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan.
Jaksa KPK juga ingin Lukas dihukum membayar uang pengganti sejumlah Rp47.833.485.350 subsider tiga tahun penjara.
Lukas dinilai jaksa terbukti menerima suap senilai Rp45,8 miliar dan gratifikasi sebesar Rp1,9 miliar. Ia dinyatakan terbukti melanggar Pasal 12 huruf a UU Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat 1 KUHP dan Pasal 12 B UU Tipikor.
(ryn/pmg)