Dosen Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik UGM Riza Noer Arfani menilai, potensi munculnya konflik vertikal akan lebih besar apabila Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 nanti selesai hanya dalam satu putaran.
"Saya memprediksi dua putaran, karena kalau satu putaran itu potensi konfliknya bisa lebih besar, yang vertikal. Karena rakyat akan melihat ini rekayasa betul. Engineering, sesuatu yang direkayasa," kata Riza di UGM, Sleman, Jumat (27/10).
Sementara jika berlangsung dua putaran, maka masyarakat cenderung melihat Pilpres sebagai suatu persaingan yang benar-benar fair dan potensi konflik pun teredam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada tidaknya potensi konflik pada Pilpres putaran kedua nanti, kata Riza, juga bergantung dengan sikap dari koalisi pendukung pasangan capres-cawapres yang gugur di putaran pertama.
"Kita akan lihat pola konsolidasi demokrasi selepasnya [pada putaran kedua]. Koalisinya berdasar apa, ini bergantung siapa yang kalah. Kalau yang kalah misalnya Ganjar-Mahfud, kita lihat PDIP, kan, kunci di sini. Dia akan mengarah mana, bandulnya ke arah mana. Kalau mengarah ke yang [Koalisi] Perubahan, kemungkinan konflik vertikal relatif bisa dihindari," paparnya.
Jika berlangsung selama dua putaran, lanjut Riza, masyarakat pemilih akan fokus pada adu gagasan antarpasangan capres-cawapres. Dengan demikian, potensi konflik pun semakin menurun.
"Yang kita tunggu-tunggu bersama apakah kita akan switch ke consolidated democracy. Kalau itu yang terjadi, wah, kita bisa bangga bersama. Saya cukup yakin itu yang akan terjadi, tidak akan ada fenomena polarisasi seperti [pemilu] 2014, 2019," ujarnya.
![]() |
Riza berpandangan, tak ada faktor pendukung yang membuat polarisasi bahkan muncul di level akar rumput, khususnya di pemilu legislatif. Potensi konflik horizontal maupun vertikal pada pemilu besok dinilai relatif kecil.
"Kemungkinan polarisasi yang ekstrem hampir tidak ada. Apalagi pada pemilu legislatif, relatif tidak menghasilkan konflik di level grassroot," imbuh dia.
Riza melanjutkan, potensi konflik yang lebih kecil juga mencakup ranah media digital. Euforia masyarakat terhadap digitalisasi sekarang sudah cukup stabil dibandingkan dengan dua gelaran pemilu sebelumnya.
Seiring dengan makin meningkatnya literasi terhadap teknologi dan media digital, kata Riza, masyarakat sudah lebih mampu menyaring informasi dari dunia maya.
"Orang sudah tidak benar-benar percaya dan mengandalkan media, sehingga potensinya lebih kecil," kata Riza.
Hal yang sama juga disampaikan oleh pengajar Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM Abdul Gaffar Karim. Ia menilai potensi polarisasi yang cenderung tipis dalam Pilpres kali ini.
"Dengan calon-calon yang gado-gado, nano-nano begitu, kayaknya masyarakat enggak bakal, deh, berantem," kata Gaffar.
Melihat hal ini, Gaffar menilai gelaran Pemilu 2024 jauh lebih tenang jika dibandingkan gelaran yang sama pada 2019 dan 2014. Di kedua gelaran pemilu sebelumnya, pertarungan dukungan dan polarisasi telah memanas jauh hari sebelum kontestasi politik itu bergulir.
"Sekarang tidak seperti itu. Jadi mungkin akan lebih tenang dibandingkan tahun 2014," ungkapnya.
Tiga pasangan calon telah mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ketiganya adalah Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, dan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Ketiga pasangan bakal capres-cawapres ini juga telah dinyatakan lolos tes kesehatan. Hasil pemeriksaan menyimpulkan mereka mampu menjalankan tugas sebagai presiden dan wakil presiden, serta bebas dari penyalahgunaan narkoba.
KPU kini masih memverifikasi berkas pendaftaran yang sebelumnya diserahkan ketiga pasangan bakal capres-cawapres itu. Penetapan pasangan calon diumumkan pada 13 November 2023, sementara pengundian nomor urut digelar sehari setelahnya.
(kum/asr)