Wakil Ketua Umum Partai Gelora Indonesia Fahri Hamzah mendesak agar dua sistem ambang batas di pemilu, parliamentary dan presidential threshold (PT), untuk segera dihapus karena memicu bencana.
Dalam diskusi di kanal YouTube Polemik Trijaya yang tayang Sabtu (28/10), Fahri menyebut bahwa pemeliharaan dua sistem tersebut menjadi sumber bencana selama terjadinya proses pemilihan.
"Yang perlu kita ubah itu UU pemilu, kita harus menghentikan threshold, semua macamnya, baik parliamentary maupun presidential threshold. Hentikan itu. Itu sumber bencana kita," cetus Fahri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, sistem parliamentary threshold dan presidential threshold ini menghalangi independensi dari setiap kader partai politik untuk terlibat dalam pencalonan presiden.
Ia juga menyentil soal dinamika partai politik yang kini dianggapnya hanya muncul sebagai wadah siap pakai bagi siapapun untuk mencari jejak kekuasan.
"Jangan biarkan parpol jadi sebagai penjual tiket saja," sindir Fahri, "PDIP mungkin enggak jual tiket hari ini, tapi kalau berhubungan dengan wakil, kan kebingungan juga?"
Berkenaan dengan hal itu, Fahri juga mengimbau adanya intervensi di UU Parpol yang mengatur hubungan partai politik dengan tiap-tiap kadernya.
"Itu mesti diikat dan diperkuat secara luas. Supaya orang jangan keluar masuk partai sembarangan," kata Fahri Hamzah.
"Di PDIP, sebenarnya komitmen ini sudah cukup diselenggarakan, tapi saya tidak tahu kok agak missed di ujung. Karena itu tidak kita tuntaskan," imbuhnya.
Sebagai gantinya, Fahri menyarankan syarat anggota parpol untuk semua pihak yang akan berkompetisi di pemilu di setiap jenjang.
"Itu penting sekali. Boleh kita bilang banyak jagoan dari pengusaha, wartawan, seniman. Oke. Tapi mereka harus jadi anggota parpol," katanya, "Sekarang ini kan parpol bagaikan tempat sampah yang diperlukan setiap saat mau berkuasa saja."
Fahri menilai kewenangan untuk menjadi anggota partai politik juga tidak dapat dilakukan secara semena-mena. Menurutnya, banyak parpol yang akhirnya kehilangan nilai politisnya dengan melibatkan berbagai pihak tanpa niat dan visi yang serupa.
"Banyak orang kaya yang punya uang dan pengaruh bilang tidak mau berpolitik, ustaz-ustaz juga banyak yang begitu. Tetapi begitu mendekati pemilu, mereka keluyuran itu cari tiket," kata Fahri.
"Ini tidak fair bagi parpol. Tetapi kita yang membuat sistem itu dari awal," cetusnya.
Dua ambang batas itu berulangkali diuji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan berulangkali pula ditolak.
Ambang batas parlemen, yang merupakan syarat sebuah parpol bisa dapat kursi di DPR, tercantum pada Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu, yakni minimal mendapat 4 persen jumlah suara sah nasional.
Sementara, ambang batas presiden, yang adalah syarat pencalonan capres-cawapres, ada di Pasal 222 UU Pemilu. Bahwa, parpol atau gabungan parpol yang bisa mengusungnya minimal punya 20 persen jumlah kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pada Pileg sebelumnya.
(arh/far/arh)