Anwar Usman Respons Sindiran Mahkamah Keluarga: Keluarga Indonesia
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman buka suara soal istilah mahkamah keluarga yang disematkan kepada lembaganya usai mengabulkan gugatan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat batas usia capres-cawapres.
"Benar, keluarga bangsa Indonesia," ujarnya usai menjalani sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran etik di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (31/10) petang.
Anwar menepis dirinya terlibat konflik kepentingan lantaran tak mengundurkan diri saat memeriksa dan memutus perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Berdasarkan Pasal 17 ayat (5) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa.
"Siapa? Kepentingan siapa? Ini pengadilan norma, semua bangsa Indonesia, rakyat Indonesia," ujarnya.
Sebelumnya, Guru Besar Hukum Tata Negara Denny Indrayana menilai putusan MK terkait syarat batas usia capres-cawapres merupakan mega-skandal mahkamah keluarga.
Hal itu disampaikan Denny selaku pelapor dalam sidang perdana dugaan pelanggaran etik hakim MK yang diadili oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) di Gedung MK hari ini.
"Putusan 90 terindikasi merupakan hasil kerja dari suatu kejahatan yang terencana dan terorganisir, planned and organized crime, sehingga layak pelapor anggap sebagai mega-skandal mahkamah keluarga," ujar Denny.
Denny menyebut mega-skandal mahkamah keluarga itu melibatkan tiga elemen tertinggi. Pertama, Ketua MK Anwar Usman. Kedua, Presiden RI Joko Widodo dan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka.
"Ketiga, demi menduduki posisi di lembaga kepresidenan, yaitu the first office, Kantor Kepresidenan RI," katanya.