Apakah Putusan Etik Anwar Cs Bisa Gugurkan Putusan MK soal Cawapres?
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) di bawah Jimly Asshiddiqie saat ini dalam proses finalisasi putusan etik sembilan hakim MK, termasuk Ketua MK Anwar Usman terkait putusan syarat batas usia capres-cawapres.
Jimly akan mengumumkan hasil pemeriksaan sembilan majelis hakim MK Selasa (6/11), besok.
Laporan dugaan pelanggaran kode etik Anwar Usman dkk ini muncul setelah para hakim MK memutus perkara soal uji materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) soal batas usia Capres Cawapres.
MK mengabulkan gugatan soal syarat batas usia pencalonan presiden dan wakil presiden, dengan menyatakan bahwa seseorang bisa mendaftar capres-cawapres jika berusia minimal 40 tahun atau sudah pernah menduduki jabatan publik karena terpilih melalui pemilu.
Hasil putusan MK tersebut menjadi dasar hukum bagi Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka mendaftar sebagai Cawapres pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2024.
Lantas pertanyaan besarnya, apakah putusan MKMK bisa berpengaruh ke putusan MK soal syarat usia capres-cawapres jika nantinya Anwar Usman cs dinyatakan melanggar etik?
Ketua Badan Pengurus Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menilai apapun putusan MKMK nantinya tak akan bisa untuk mengubah putusan MK soal syarat usia capres-cawapres.
Baginya, MKMK hanya bertanggung jawab untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan kode etik Hakim Konstitusi.
"Putusan MKMK tidak akan pernah bisa mengubah Putusan MK, karena itu mandat dari UUD 1945 dan UU MK," kata Julius kepada CNNIndonesia.com, Minggu (5/11).
Meski begitu, Julius menjelaskan putusan MKMK nantinya bisa menggali relasi antara legal error atau penyelundupan hukum dalam putusan MK melalui judiciary misconduct atau pelanggaran prosedur/hukum acara.
Sehingga, bila nantinya ditemukan hakim MK bersalah atas pelanggaran etik, putusan MKMK bisa jadi titik tolak terhadap pengujian baru atas putusan MK yang janggal tersebut.
"Putusan MKMK bisa dan harus jadi titik tolak terhadap pengujian baru atas Putusan MK yang penuh pelanggaran dan kejanggalan tadi," kata Julius.
Senada dengan Julius, Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Fahri Bachmid berpendapat tak ada argumentasi hukum yang memadai putusan MKMK dapat membatalkan produk putusan MK.
"Pada hakikatnya MK dengan putusannya adalah organ konstitusional yang sangat limitatif terkait dengan kewenangan atributifnya, termasuk sifat putusannya yang bercorak "ergo omnes" maupun final and binding," kata Fahri kepada CNNIndonesia.com, Senin (6/11).
Dengan begitu, Fahri menjelaskan di MK sama sekali tidak dibuatkan sebuah mekanisme banding atau peninjauan kembali untuk mereview putusan yang telah dikeluarkan MK.
Meskipun putusan itu terjadi karena keadaan atau fakta hukum tertentu hingga unsur dinamika yang terjadi dalam proses pengambilan putusan dalam forum rapat permusyawaratan hakim (RPH).
"Ketika telah dibacakan dalam forum persidangan yg terbuka untuk umum, maka tentunya di situlah letak keabsahan/keberlakuannya. Sehingga tidak tersedia alat konstitusional untuk dapat mengujinya," lanjut dia.
Di sisi lain, Fahri menjelaskan konstruksi pelembagaan forum etik MK dibentuk berdasarkan mandat hukum cuma setingkat undang-undang (UU).
UU ini, lanjutnya, sekadar mendelegasikan agar MK wajib menyusun Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi yang berisi norma yang harus dipatuhi setiap hakim konstitusi dalam menjalankan tugasnya.
Konsekuensi dari itu, ia menilai produk putusan MKMK jika hakim MK terbukti melakukan pelanggaran, maka konsekuensi hukumnya adalah diberikan sanksi, baik ringan maupun berat.
"Dan sangat sulit untuk menalar jika putusan etik dapat menganulir putusan MK. Saya belum menemukan suatu argumentasi konstitusional dan hukum yang kokoh terkait dangan ekstensifikasi produk putusan lembaga etik yang dapat membatalkan produk putusan MK," kata dia.
Mantan Hakim MK I Dewa Gede Palguna telah menegaskan MKMK tidak dapat membatalkan putusan MK terkait syarat batas usia minimal capres-cawapres.
Palguna menyebut hal itu bukan ranah dan wewenang MKMK. Wewenang MKMK hanya pada ranah etik dan terbatas pada penjatuhan sanksi etik terhadap hakim konstitusi jika terbukti melanggar. Mulai dari sanksi ringan (teguran lisan), sanksi sedang (teguran tertulis) atau sanksi berat (pemberhentian tidak dengan hormat).
"MKMK memang tidak boleh memasuki putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Wewenang MKMK adalah berkenaan dengan (dugaan) pelanggaran etik dan pedoman perilaku hakim," kata Palguna, Sabtu (4/11).
Palguna menjelaskan putusan MKMK bisa berdampak terhadap putusan MK soal syarat usia capres-cawapres, jika terdapat permohonan pengujian baru terhadap Pasal 169 huruf q yang telah diberi penafsiran berbeda oleh MK melalui Putusan No 90/2023.
"Yaitu setidak-tidaknya sebagai bukti kuat untuk mengajukan alasan pengujian kembali terhadap Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 UU MK," kata Palguna.
(rzr/gil)